Jumat, 07 Agustus 2015

Dandelion 2

Sudah hampir tiga bulan Garry tidak menghubungi Deli, mereka menahannnya, menahan rasa ingin bertemu mereka, bertukar cerita, atau hanya sekedar menyapa. Mereka gengsi? Ya, Garry dengan ketakutan dan kebimbangannya, setelah tahu dia hanya simpanan, mana ada orang yang mau dijadikan nomor dua. Deli dengan ego perempuannya, mana mungkin ada perempuan mau menyapa duluan, seharusnya Garry sudah mengerti itu.
Sudah hampir tiga bulan pula Garry menunggu bunga Dandelion yang ditiupkan Deli datang, Garry tidak menyerah dia sangat yakin bunga dan pesan yang ditiupkan Deli itu untuk dirinya, atau Garry hanya takut, takut menerima kenyataan, bahwa bunga dan pesan Dandelion itu bukan ditupkan untuknya.


Hari-hari Garry jadi sepi, apalagi dia tahu kalau ‘move on’ tidak semudah mengatakannya, untuk berpindah kelain hati dari seseorang yang sudah banyak meluangkan waktu untuk bersama kita memang tidak mudah, tapi mau bagaimana lagi, kalau dia tidak terlalu bodoh untuk tetap mengejar wanita yang sudah punya komitmen dengan pria lain, mungkin tak ada yang bisa dia tulis hari ini.
            Tiga bulan, empat bulan, lima bulan, Garry sudah tidak tahan akhirnya dia mengirim pesan singkat untuk Deli, Garry meminta agar Deli segera turun dari kamarnya untuk menemuinya di bawah, di depan halamannya, Garry tidak peduli kalau ini sudah malam, dia tidak ingin beban ini terus menghantui mimpinya dan membuatnya tidak bisa tidur di setiap malam.
Deli turun menemui Garry, aku pernah melihat mereka berdua dalam keadaan seperti ini, dalam pakaian yang berbeda tentunya.
Raut muka Garry tidak seperti biasanya dia tampak serius, cuek, tatapan matanya dingin, tidak hangat, tidak seperti biasanya, sedangkan Deli, jangan tanya aku, wajahnya seperti ketakutan dan bingung, seperti dia tahu kalau Garry marah, dan akan membicarakan hal yang serius dengannya.
“Hei, ngapain sih ganggu tidur aku Ger.”
Deli tampak ingin mencairkan suasana, tapi percuma Garry yang sekarang beda dari sebelumnya.
“Langsung ke intinya saja, kamu kapan jadian sama Yogi?”
“Udah jalan 3 minggu, kenapa emangnya?”
“ ’Kenapa emangnya’ katamu? Lalu, lalu bagaimana kita selama ini.”
Garry tampak agak kesal
“Kamu pernah nyatain perasaan kamu ke aku ngga?”
“tidak pernah, maksudku, belum, lalu apa arti kita selama ini.”
“Kamu pernah ada saat aku butuh gak? Hari Senin sampai Juma’t kamu dimana? Gak disini kan?”
“Jangan bicarakan seolah jarak dan waktu sebagai alasan, kenapa kamu lebih memilih dia daripada aku.”
“Karena dia selalu ada, mengerti.”
“......”
“Yogi selalu ada buat aku, waktu aku jatuh apa tangan kamu yang bantu aku berdiri?, apa tangan kamu yang ngehapus air mata aku pas aku nangis? Apa suara kamu yang aku denger pas pagi hari sebelum berangkat sekolah? Apa kam yang ada di depan rumah aku buat nganterin sekolah? Bukan ger!”
Garyy diam, dia tak mampu mengatakan sepatah katapun, dia terkejut oleh apa yang dikatakan Deli padanya, itu sangat membuatnya patah hati.
“Setidaknya kamu beri aku kepastian agar aku meninggalkanmu, jadi tidak berharap seperti sekarang ini.”
“Apa hanya perasaan kamu yang kamu pikirin, apa kamu gak pernah berpikir betapa sulitnya buat milih kalian berdua, kalian sama-sama spesial, tapi kamu Garry, kamu sangat berbeda kamu lebih dari spesial, dan Yogi, dia selalu ada buat aku, karena kamu tau sendiri yang spesial akan selalu kalah sama orang yang selalu ada.”
“Jadi ini pilihan kamu?”
“Ya, Garry aku minta maaf.”
Deli menangis, air matanya mengalir sangat deras, sedangkan Garry yang di depannya menunduk, meratapi dan menyesali perbuatannya malam ini, andaikan dia tidak datang kesini dan menannyakan hal tadi mungkin dia dan Deli masih bisa berhubungan.
“Maafkan aku, aku memang egois, aku tidak pernah berfikir kalau jadi kamu akan sangat sulit, menangislah, anggaplah ini pertama dan terakhir kalinya bahuku ada saat kamu membutuhkannya.”
Garry memeluk Deli dan menyandarkan kepala Deli di bahunya, biarkan Deli menangis sepuasnya di bahu Garry untuk terakhir kalinya.
Dandelion

Petang kini menjelang
Ku lihat cahaya bulan cerah sinari kerinduan di malam terang
Namun hembusan angin dan barisan kunang-kunang di luar jendela kamarku
Mengantarkan mu padaku
Sebuah ingatan masa lalu
Pesan dari cerita asmara kita di waktu dulu
Namun saat ku dengarkan
Datang pagi yang tak di harapkan
Aku bangun dan hilang harapan
Dandelion
Kamu datang terlambat



TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar