“Sial!
Aku kesiangan, lagi.” Ucapku sambil beranjak dari tempat tidurku dan berlalri
ke bawah, menuju kamar mandi, aku sempat melihat jam wekerku, dan kulihat ini
sudah jam 06.30 pagi!
“Pagi,
Honey.” Ucap Ibuku yang terlihat sedang memasak sarapan.
“Pagi
bu.” Ucapku menyapanya balik, dan segera masuk ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku
kembali ke kamarku untuk memakai seragam dan membawa tas sekolahku, ini sudah
kesekian kalinya aku terlambat bangun, padahal aku selalu mengatur jam weker
untuk membangunkanku lebih pagi, tapi selalu saja gagal. Ketika jam weker itu berdering, bukannya bangun, aku malah
mematikannya kembali, sial! Memang kebiasaan burukku ini tidak bisa hilang
sepertinya.
“Pagi
njar, sarapan dulu sana, ibu sudah siapkan nasi goreng kesukaan kamu.” Ibuku
sudah menyiapkan semuanya di meja makan, nasi goreng, susu, dan salad sudah
siap, semuanya makanan kesukaanku. Tapi pagi itu aku hanya meminum susu saja, karena
jam sudah menunjukan 06.45, dan waktu yang di perlukan untuk sampai ke sekolah
kira-kira 20 menit, jadi pasti aku akan terlambat jika aku sarapan dulu.
“Nanti
aja di sekolah bu, Anjar telat nih.” Ucapku sambil memasukan bekalku ke dalam
tas.
“Kok
panik banget njar? Bukannya kamu udah biasa telat ya?” Ucap ibu dengan nada
mengejek.
“Ibu
ih! Nyindir sampe segitunya.” Jawabku sambil memakai sepatuku.
“Makannya,
lain kali, beli jam weker yang gak bisa dimatiin.” Ucap ibuku sambil mencium
pipi kiri dan kananku “Yaudah berangkat sana, kasian mas Pur udah nunggu di depan
dari tadi.” Lanjutnya.
“Dah
bu, Anjar berangkat, Assalamualaikum.” Ucapku sambil berlari keluar.
“Waalaikumsalam.”
Jawab ibuku.
Di luar aku sudah melihat mas Pur
stand by di luar pagar, menunggu di
depan pintu mobil belakang yang terbuka lebar.
“Pagi
den Anjar.” Ucap mas Pur.
“Pagi
juga mas Pur.” Jawabku singkat, sambil masuk kedalam mobil. Lalu mas Pur
menutup pintu belakang, dan masuk lalu berangkat ke sekolah.
Oh iya,
kita belum kenalan, namaku Anjar, anak kelas 2 SMA, aku tinggal bersama ibuku, karena
ayahku tentara dan dia sedang ditugaskan di luar kota jadi ayah kembali sekitar
tiga bulan sekali, yang tadi itu ibuku, dan yang sedang nyetir ini mas Purnomo
tapi aku sama ibu manggilnya ‘mas Pur’ dia supir pribadi kita, mas Pur jadi
supir pribadi sejak kita pindah ke Bandung, sekitar tiga tahun yang lalu, jadi
dulunya keluarga kita tinggal di Jogja, tapi karena ayah pindah dinas ke
Bandung, kita ikut pindah deh, ya gini lah gak enaknya jadi anak tentara,
hidupnya no maden.
Tiba-tiba mobil seperti berat
sebelah ke kanan, dan jalannya juga agak bergetar, kenapa ya?
“Lah lah
lah.” Ucap mas Pur sambil memperlambat kecepatan mobil, dan mulai merapat ke
pinggir jalan.
“Kenapa
nih mas?” Tanyaku pada mas Pur.
“Nda tahu
nih den, sebentar biar mas Pur cek dulu.” Jawab mas Pur, sambil keluar mobil.
Ngga terlalu lama mas Pur udah
balik lagi ke mobil.
“Waduh
den gaswat, ini gaswat!” Ucap mas Pur kepanikan.
“Gaswat
kenapa mas Pur?” Tanyaku, lagian mas Pur ini gajelas masuk ke mobil langsung
kaya gitu.
“Anu
den, anu.” Jawabnya mas Pur masih penuh kepanikan.
“Mas
Pur ngomong apaan sih? Yang jelas dong mas.” Tanyakku sambil menenangkan mas
Pur.
“Ban
belakang sama ban depan yang sebelah kiri bocor den.” Ucap mas Pur
menyelesaikan kalimatnya.
“Yah...
gimana dong mas?” Tanyaku panik, jam juga sudah menunjukan 06.50 duh ini pasti
telat nih.
“kalau
diganti juga, satu ban bisa ngabisin waktu 15 menit den.” Ucapnya.
“Wah,
kelamaan mang, bisa telat nih aku, yaudah gini deh, mas Pur ganti aja bannya,
aku jalan kaki aja, lagian di depan ada jalan motong buat ke sekolah kok mas.”
Ucapku dengan jelas, ternyata aku kenal jalan ini, ini jalan yang biasa dia
lewati, setap pagi dia pasti lewat sini, dan aku cuman bisa liatin dia dari
mobil.
“Beneran
nih den gak apa-apa?” Tanya mas Pur lagi.
“Beneran
mas.” Ucapku sambil turun dari mobil, dan mulai meninggalkan mobil.
“Nanti
mas Pur lapor ke ibu den, jangan lupa ngabarin mas Pur kalau sudah sampai sudah
di sekolah.” Ucapnya berteriak.
Aku hanya mengacungkan jari
jempol dari kejauhan sebagai isyarat siap. Aku mulai berlari menyusuri gang ke
gang dan akhirnya sampailah di sebuah rumah yang agak besar dengan pagar warna
emas, aku kenal sekali, ini rumah dia, dia yang selalu ku kagumi sejak aku
pindah ke sekolah ini, aku memperhatikan jendela yang terbuka di lantai atas,
aku berpikir mungkin itu kamarnya, tempat setiap malam dia melihat keluar
jendela dan mengidamkan pangerannya, membayangkan dia bersama pangeran
impiannya di istana imajinasinya, dan aku selalu berharap aku adalah
pangerannya.
Jam
berapa ini? 07.00 waduh! Kebanyakan ngelamun nih, aku harus cepet ke sekolah,
dinding yang biasa di pakai buat bolos sekolah udah keliatan. Tiba-tiba
terdengar suara anjing menggongong, saat ku lihat ternyata rumah besar ini ada anjingnya,
udah gitu rantainya lepas lagi, aku langsung berlari sekuat tenaga, anjing itu
terus mengejar, bentar lagi sampai, aku lihat ke belakang, anjing itu masih
mengejar.
“Ah
sial!” Umpatku dalam hati.
Akhirnya aku sudah bisa melihat
gerbang sekolah, yang sudah ditutup dan pak satpam di depannya yang sudah siap
dengan hukuman paginya, anjing itu juga sudah tidak mengejar, jadi aku agak
memperlambat langkahku menuju gerbang sekolah.
“Pagi
pak.” Ucapku sambil ngos-ngosan.
“Pagi
njar, telat lagi? Kok kamu tumben jalan kaki biasanya diantar mas Pur.”
Tanyanya.
“Ban
mobilnya bocor pak.” Jawabku yang masih ngos-ngosan.
“Itu
bukan berarti hari ini kamu gak dihukum loh njar, ayo udah siap dihukum?”
Tanyanya penuh dengan nada mengejek.
“Iya pak
iya, ayo pak hukum saya biar bisa cepet masuk.” Pintakku pada pak satpam.
“Udah
tahukan hukumannya? Oke mulai aja njar.” Ucapnya santai.
Aku memang
sudah langganan di hukum, karena aku sering sekali bangun kesiangan, jadi
berimabas juga deh sama waktu dateng ke sekolah.
“Sudah
pak.” Ucapku sambil berdiri dan mengambil tasku, jam menunjukan pukul 07.15
“Oke
silahkan masuk njar, lain kali jangan telat ya, meski bapak gak yakin kamu gak
akan telat lagi.” Ucap pak satpam dengan nada mengejek.
“Iya pak
iya, yaudah pak Anjar masuk dulu assalamualaikum.” Ucapku sambil berlari
kedalam.
“Waalaikumsalam.”
Jawabnya.
Aku langsung berlari mencari
kelasku, kelas XI-IPA 3, saat sampai di depan pintu kelas aku sedikit mengintip
dari luar pintu, karena hari ini pelajaran guru killer pelajaran Kimia aku jadi sedikit sungkan untuk masuk, sudah
cukup semua kesialan hari ini, bangun terlambat, tidak sarapan, ban mobil
bocor, dikejar anjing, dihukum pak satpam, apakah sekarang harus diomeli guru killer pula, mati lah aku.
Aku mengintip, dan ternyata di
ruangan kelasku belum ada guru, aneh sekali, tumben sekali pak Marsudiman tidak
ada pagi ini.
“Pagi.”
Ucapku sambil masuk kelas, di balas dengan sorakan dari teman-temanku yang
sudah biasa melihat aku datang jam segini, aku langsung duduk di tempat di
dudukku di daerah belakang.
Benar-benar
hari yang menyebalkan ucapku, sambil menyimpan tas, dan mengeluarkan handphone
dan headsetku, lalu aku menyimpan tas di depan meja sebagai alas untuk tiduran.
Aku mulai memainkan lagu di handphoneku dengan headset yang sudah terpasang di
telingaku, aku memejamkan mata sambil menunduk di alasi tasku, cukup hari
sialnya benar-benar badmood aku ingin
diam sejenak untuk istirahat dari hari sial
ini.
Tiba-tiba....
Ada seseorang yang memukulku
dengan buku, dan ku akui itu cukup sakit, kemungkinannya ada dua, yang pertama
aku tertidur sampai pak Marsudiman masuk dan sekarang sedang dalam pelajarannya
dan aku tertidur, itu artinya yang memukulku pak Marsudiman, atau ini si Billy
yang sering kali menganggu waktu tenangku. Perlahan aku menanggahkan kepalaku
dan ternyata itu.
“Hey,
sakit ya? aku mukulnya kekerasan? Tadinya aku gak mau pukul, tapi kamu
dibangunin, terus kata Bili pukul aja pake buku, eh ternyata bener bangun,
sorry ya.” Ucapnya manja dan panjang lebar.
Ini mimpi? Ini bukan mimpi, jelas
ini bukan mimpi, cewek yang cuman bisa aku liatin dari sini, dari pertama pas
masuk sekolah dan kelas ini gak pernah ngobrol, tiba-tiba mukul kepala pake
buku, tuhan, kajaiban itu gini rasanya ya?
“Kok
ngelamun? Pusing ya?.” ucapnya lagi.
“Oh,
ngga kok.” Ucapku yang terbangun dari lamunanku.
“Bangku
sebelah kamu kosong kan? Aku boleh duduk disitu.” Pintanya kepadaku.
“Boleh
Jun.” Jawabku.
“Kok
jun sih? Kaya nama cowok tau.” Ucapnya sambil manyun-manyun kesal.
“Ya
habis apa lagi? Emang nama kamu Juni kan?” Jawabku setengah mati.
“Ya
nama lengkap aja J-U-N-I.” Jawabnya, mengeja nama.
“Ya
O.k JUNI.” Ucapku
“Kamu
tuh tinggal di komplek sebelah ya? yang komplek tentara itu.” Tanya Juni
kepadaku.
Gila, kok dia bisa tau rumah aku
ya, ah ini jodoh ini.
“Iya
kok kamu tau?”
‘Karena kamu telah mendar der dor
kan hatiku’ jawabku dalam hati, ah tapi kayanya gak mungkin sih dia bilang
gitu.
“Aku
sering liat kamu pulang lewat situ, nah rumah aku kan tiga gang sebelum gapura
rumah komplek itu.” Ucapnya menjelaskan.
‘Udah tau, dari kapan itu mah
hehe’ ucapku lagi dalam hati, tapi pura-pura gak tau ah.
“Ah
masa? Aku kok gak pernah liat ya? padahal tadi juga aku lewat situ loh, rumah
kamu yang mana sih?” Tanyaku padanya.
“Itu
yang warna pagernya emas.” Jawabnya lagi.
‘Itu juga udah tahu hehe’ bohong
lagi aja ah, biar bisa deketan lama-lama.
“Oh
yang itu, yang ada anjingnya?” Tanyaku lagi.
“Iya
si Aci, itu peliharaan aku.” Ucapnya lagi.
‘Kebetulan tadi si Aci ngejar
gua, lain kali kalau punya peliharaan dirante ya, cantik’ ucapku dalam hati
lagi.
“oh
Aci.” Jawabku singkat.
Lalu keheningan terjadi diantara
kita berdua, sampai akhirnya aku kembali memecah keheningan.
“Tadi
aku lewat situ, Jendela kamar kamu yang di lantai dua kebuka tuh, hati-hati
entar ada yang nyolong.” Ucapku.
“Hah?
Jendela lantai dua? Oh itu mah kamarnya bi Rani, pembantu aku, kamar aku ada di
bawah di paling ujung.” Jawabnya santai.
‘Eee buset, dari tadi ternyata
ngebayangin dia liat ke jendela itu sia-sia ya, orang itu bukan kamarnya.’
Ucapku dalam hati lagi.
“Oh
punya pembantu kamu.” Jawabku singkat, biasa cowok keren harus hemat kata hehe.
“Mmm
boleh nannya ngga?” Tanya dia dengan nada malu-malu.
‘jangan nannya deh, kamu mau bawa
abang kemana aja juga boleh’ ucapku dalam hati
“Boleh.”
Jawabku sok keren.
“Tapi
jangan di bilang-bilang.”
‘lah kok perasaan jadi gak enak’
“Oke.”
Jawabku masih sok keren.
“Janji
ya?”
‘Janji kita sehidup semati mau
kapan nih?’ harapku dalam hati
“Aku
suka sama Billy comblangin aku sama dia dong.”
‘BILLY BANGSAT TTAAAEEE’ teriakku
dalam hati.
“Oke.”
Jawabku masih berusaha sok keren.
“Bener
nih, yyyeee makasih ya, ini nomer hp sama pin aku, kasihin ke Billy ya.”
ucapnya penuh riang sambil meninggalkan bangku ini, membiarkanku sendiri lagi
hiks.
Akhirnya
sampai lonceng pulang berbunyi hatiku di penuhi rasa kesal dan rasa kesel sama
si Billy, tapi mau gimana lagi, si Billy sialan itu, sahabat sejak aku pindah
ke sini, mana sekarang dia numpang balik lagi.
Mas Pur sudah di depan gerbang,
aku dan Billy melangkah bersama namun tak se irama, aku masuk duluan, dia masuk
belakangan, karena kalau kita barengan susah.
Di mobil ku berikan nomer
handphone dan Pin si Juni pada Billy, si Billy keliatan cuek tapi nomer sama
pinnya tetep di save, mau bagaimana lagi cintaku bertepuk sebelah tangan.
“Den
anjar kok murung gitu kenapa den?” tanya mas Pur.
“Gak
apa-apa mas Pur, mas Pur bisa tolong bacain saya satu quote dari sastrawan
kesukaan mas Pur itu?” pintaku yang sedang galau.
“Oh,
Sapardi Djoko Damono, yowes toh, dengar ya den Anjar den Billy.” Ucapnya pada
kita berdua.
“tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
Bangun telat, ngga
sarapan, ban bocor, dikejar anjing, dihukum pak satpam, di ketawain anak-anak
kelas, dan terakhir ditinggal kamu.
BELUM TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar