Ini cerita malam kawan-kawan, sebuah
cerita pendek, sebelum kalian berangkat untuk tidur dan bermimpi indah dengan
puteri impian kalian. Untuk kalian yang acap kali terbangun saat tengah malam,
jangan bersedih, terkadang itulah saat yang tepat untuk kalian bertemu taman
imajinasi impian kalian.
Aku terbangun tengah malam lagi, aku
memang punya kelainan dengan waktu tidur, di siang hari acap kali aku gampang
lelah dan tertidur, di malam hari aku selalu terbangun dan terlihat segar, ini
semua sebenarnya mengganggu pekerjaan kantorku, tapi semuanya tidak ada
masalah, karena aku selalu mengambil lembur untuk menyelesaikan tugasku yang
terabaikan saat pagi hari. Selain menjadi pekerja kantoran aku juga menjadi
seorang penulis blogger sebagai pekerjaan sampingan, lumayan lah untuk mengisi
waktu luang, biasanya aku menulis saat terbangun malam, berharap aku bisa tidur
kembali setelahnya, tapi tidak berpengaruh, saat aku terbangun malam hari, sama
halnya saat aku terbangun pada pagi hari, tubuhku segar bugar, dan tidak akan
bisa untuk tidur lagi.
Malam ini hal itu terjadi lagi, aku
terbangun tengah malam di apartemenku, aku mengintip keluar lewat jendelaku,
sunyi, tentu saja ini jam satu malam, aku tidak seharusnya mengharapkan ada
tukang bubur ayam lewat, atau anak-anak berseragam putih biru berjalan kaki
sambil merokok menuju sekolahnya, miris memang kalau aku melihat mereka, tapi
ya begitulah, dulu juga aku seperti itu, lagi pula merokok atau tidak itu tidak
akan berpengaruh pada sukses atau tidaknya seseorang, setidaknya itulah yang
aku percayai.
Aku pergi ke dapur untuk membuat kopi, setelah itu kembali ke
ruang tengah dan menyalakan televisi, aku memang sering tidur di sofa ruangan
tengah, selain karena televisi berada di ruangan tengah, itu juga karena sofa
dan ruangan ini memiliki banyak kenangan.
Dulu waktu aku
dan Nalesha masih pacaran, dia sering menginap disini, jadi jika tidur, dia
selalu tidur di sofa ini, dan aku tidur di karpet, di bawah sofa. Dari bawah
sana aku melihat raut wajahnya ketika tidur, begitu manis, atau ketika di pagi
hari dia bangun dengan air liur di bantal, benar-benar tidak dapat dilupakan.
Yang paling ku rindukan adalah ketika dia terbangun tengah
malam, dan mengeluh mengalami mimpi buruk padaku, aku selalu menemukan berbagai
cara untuk membuatnya kembali tidur, membacakan dongeng untuknya, bermain game
di gadget, menyanyikan lagu untuknya, atau mengajaknya mengobrol sampai bosan,
pokoknya aku punya 1001 satu cara untuk membuatnya kembali tidur.
Aku melamunkan dia lagi? Hmm sudahlah, semuanya tidak akan
kembali, baru ku sadar, sedari tadi aku hanya menonton channel yang banyak
semutnya. Aku mulai memindah-mindahkan channel ke acara yang setidaknya dapat
menghibur di malam menjelang pagi seperti ini. Akhirnya aku berhenti di acara siraman
rohani pagi hari, entah kenapa aku malah memilih acara ini, padahal aku ini
bukan tipe orang yang religius.
Aku
menghempaskan diriku ke sofa, dan meneguk kopi di cangkir yang sedari tadi ku
diamkan. Aku menanggahkan kepalaku, melihat langit-langit apartemen ini, andai
saja, andai saja waktu itu aku ada di sisinya dan menghiburnya seperti biasa,
mungkin dia tidak akan jadi seperti sekarang, dan mungkin hubungan kami akan
baik-baik saja, aku sendiri kaget ketika mendengar kabar itu dari teman-temannya,
bodohnya aku, kenapa aku tidak curiga sedikitpun padanya waktu itu, lagi pula
siapa yang menyangka orang sebaik Nalesha menjadi seperti itu.
Sudah beberapa bulan yang lalu aku mendapat kabar kalau
Nalesha masuk pusat rehabilitasi, awalnya aku tidak percaya, dan menyangka
kalau dia hanya depresi, namun setelah aku datang menemuinya, aku benar-benar
kaget Nalesha yang baik, cantik, dan rajin beribadah itu menjadi seorang
pecandu narkoba.
Dulu aku
mengenal Nalesha ketika kita habis beribadah, entah bagaimana awalnya aku dan
dia bisa berkenalan, semuanya terjadi secara alami. Dulu aku melihat dia adalah
gadis yang sangat periang, bersama ayah dan ibunya dia rajin sekali beribadah,
bahkan setiap minggu pun aku tidak pernah melihat dia absen, mungkin dialah
yang membuatku semangat kembali beribadah.
Akhirnya kita bertukar nomer handphone dan mulai berhubungan,
setelah itu aku dan Nalesha menjadi sangat dekat, kita mulai sering jalan
bersama, menghabiskan akhir pekan dengan liburan bersama, menginap di rumah
keluarganya, atau bahkan menginap di apartemenku.
Aku sudah sangat nyaman berada didekatnya, bahkan aku
berfikir kalau dialah perempuan yang selama ini aku cari, aku bermaksud untuk
menikah dengannya, kurasa uang tabunganku sudah cukup, kalau untuk membeli
rumah mungkin tidak sekarang, tapi untuk menyewa gedung, membeli mas kawin,
gaun pengantin, dan segala perlengkapan menikah yang lain uangku sudah cukup.
Aku mulai
membicarakan ini dengan Nalesha dan keluarganya, mereka juga sangat senang
mendengar kita segera menikah, namun entah kenapa saat hari dimana aku
berbicara akan menikahi Nalesha di depan orang tuanya, raut wajah Nalesha
terlihat murung dan terbebani.
Aku mempersiapkan segalanya, gedung sudah aku booking jauh-jauh hari, aku dan Nalesha
juga sudah memilih jas dan gaun untuk pernikahan kita nanti, kita juga sudah
memilih makanan dan minuman hidangan, juga dekorasi gedung.
Persiapan kita sudah matang, hingga tersisa satu bulan lebih
lagi, dari sini sesuatu yang mengganjal itu mulai terkuak. Nalesha menjadi
lebih sering menginap di apartemenku, bukannya aku tidak suka, tapi, bukannya
aneh jika orang tuanya tidak mencari.
Di apartemenku pun dia jadi sering menangis, ketika ku
tanyakan alasannya, dia hanya menggelengkan kepala, aku jadi bingung melihat
sifatnya yang berubah, apa yang bisa ku perbuat, sudah ku tanyakan pada orang
tuanya, tapi mereka selalu menjawab “Semua baik-baik saja.” Jadi ku pikir
semuanya memang baik-baik saja.
Sampai akhirnya, dua minggu sebelum
pernikahan akan dilaksanakan, Nalesha memintaku untuk mengakhiri hubungan kita,
tentu aku menolaknya, tapi dia mengancam dia akan bunuh diri kalau aku tidak
mengikuti permintaannya, jadi terpaksa ku kabulkan permintaan yang seharusnya
bukan sebuah permintaan itu.
Aku depresi berat, dengan semua
keadaan ini, semua yang sudah kupersiapkan, dicancel hanya karena satu kata “PUTUS” aku bingung, kesal, aku ingin
marah, tapi pada siapa? Akhirnya kuputuskan untuk menenangkan diri. Aku coba
menghubunginya lagi, namun sepertinya dia sudah ganti nomer handphone, aku
mencoba ke rumahnya, namun rumah itu kosong, aku benar-benar bingung, aku jadi
sering melamun di malam hari, dan sulit tidur. Disinilah awal kelainan tidurku
berasal.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kabar dari temannya
bahwa ayah dan ibu Nalesha bercerai, Nalesha sangat terpukul dengan kejadian
itu, dia ingin marah pada orang tuanya namun dia tidak bisa, akhirnya dia
melampiaskannya pada narkoba, dan beberapa bulan kemudian aku mendengar kalau
dia masuk pusat rehabilitasi.
Semua ini
memang salahku, andaikan waktu itu aku menyelidiki mengapa sikap Nalesha
menjadi berubah, mungkin ini tidak akan terjadi, andaikan aku tahu kalau
orangtuanya akan bercerai, aku pasti disana untuk mencegahnya, andaikan aku
tidak menuruti kemauannya, mungkin bunuh diri itu hanya sebuah ancaman,
aaarrghhh... aku benar-benar menyesal, kenapa aku bisa jadi lelaki sebodoh ini!
Aku mulai gelisah, aku sudah tidak peduli
dengan suara televisi dihadapanku, aku kesal, aku marah, ketika aku mengingat
masa lalu, kenapa aku bisa jadi sebodoh itu! Aku mengambil cangkir berisi kopi
itu lalu melemparkannya pada televisi, namun hanya mengenai speaker-nya saja, channelnya menjadi
jelek dan kembali penuh dengan semut, bodo amat! Televisi itu jatuh ke
belakang, namun masih dalam keadaan menyala, cangkirnya pecah, beling kaca
berserakan dimana-mana, bercampur dengan air kopi di dalam cangkir, semuanya
jatuh membasahi karpet dan lantai, bodoh! Kenapa aku tidak bisa menahan
emosiku, kenapa aku malah melempar cangkir itu, aaarrgghhh... sial!
Tubuhku panas, aku menggigil, aku mendekati laci meja di
pinggir televisi, mencari benda itu, dimana benda itu? Aku yakin aku
menyimpannya disini, aku mengacak-ngacak isi laci itu, dan baru ku ingat kalau
benda itu ada di laci sebelahnya, aaarrgghh... bodoh sekali aku ini! Ku ambil
jarum suntik itu, kutusukan di lenganku dan mendorongnya perlahan, sambil
membayangkan kesalahanku di masa lalu.
Kesalahan yang kuperbuat padamu di
masa lalu begitu besar, sampai kau amat depresi dan tidak bisa menahan emosimu,
maafkan aku Nal, ini semua gara-gara aku, andaikan aku sepintar Einstein, aku
akan menemukan kata yang indah agar kau tidak mengenal kata yang kasar, dan
kamu tidak akan menderita seperti sekarang. Nal dunia kita sudah berbeda,
karena pengaruh obat itu, kamu jadi punya duniamu sendiri, menghayal, terjebak
dalam satu imajinasi, dimana aku tidak disana untuk menemanimu. Tapi kamu tidak
perlu khawatir Nal, sekarang aku sudah ada di duniamu, aku sekarang mengerti
betapa tenangnya duniamu, dan aku sudah siap, untuk menemanimu di dunia yang
seharusnya tidak kamu masuki, Nal aku sangat, menyayangimu. Lalu emosiku mereda
seiring dengan habisnya cairan di jarum suntik ini.
Tak lama
kemudian, channel di televisi itu kembali benar, namun aku tidak bisa melihat
gambarnya karena televisinya jatuh ke belakang, aku hanya bisa mendengar
suaranya saja, dan saat itu terdengar suara seseorang sedang bicara, sepertinya
dia pembawa acara siraman rohani tadi.
“Pemirsa, cinta itu bukan masalah
yang baik atau yang buruk, karena oleh cinta, sesuatu yang buruk akan jauh
terasa lebih baik.”
Lalu kabel televisi itu lepas, membuat televisi itu tidak
menyala lagi, dan aku, kembali pada lamunanku.
TAMAT
(Tulisan ini merupakan tantangan dari
kak Niken, ingin tahu siapa dia? Cek di Nikenikul.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar