Senin, 10 Agustus 2015

Lamunan Tengah Malam

                Ini cerita malam kawan-kawan, sebuah cerita pendek, sebelum kalian berangkat untuk tidur dan bermimpi indah dengan puteri impian kalian. Untuk kalian yang acap kali terbangun saat tengah malam, jangan bersedih, terkadang itulah saat yang tepat untuk kalian bertemu taman imajinasi impian kalian.


Aku terbangun tengah malam lagi, aku memang punya kelainan dengan waktu tidur, di siang hari acap kali aku gampang lelah dan tertidur, di malam hari aku selalu terbangun dan terlihat segar, ini semua sebenarnya mengganggu pekerjaan kantorku, tapi semuanya tidak ada masalah, karena aku selalu mengambil lembur untuk menyelesaikan tugasku yang terabaikan saat pagi hari. Selain menjadi pekerja kantoran aku juga menjadi seorang penulis blogger sebagai pekerjaan sampingan, lumayan lah untuk mengisi waktu luang, biasanya aku menulis saat terbangun malam, berharap aku bisa tidur kembali setelahnya, tapi tidak berpengaruh, saat aku terbangun malam hari, sama halnya saat aku terbangun pada pagi hari, tubuhku segar bugar, dan tidak akan bisa untuk tidur lagi.
Malam ini hal itu terjadi lagi, aku terbangun tengah malam di apartemenku, aku mengintip keluar lewat jendelaku, sunyi, tentu saja ini jam satu malam, aku tidak seharusnya mengharapkan ada tukang bubur ayam lewat, atau anak-anak berseragam putih biru berjalan kaki sambil merokok menuju sekolahnya, miris memang kalau aku melihat mereka, tapi ya begitulah, dulu juga aku seperti itu, lagi pula merokok atau tidak itu tidak akan berpengaruh pada sukses atau tidaknya seseorang, setidaknya itulah yang aku percayai.
Aku pergi ke dapur untuk membuat kopi, setelah itu kembali ke ruang tengah dan menyalakan televisi, aku memang sering tidur di sofa ruangan tengah, selain karena televisi berada di ruangan tengah, itu juga karena sofa dan ruangan ini memiliki banyak kenangan.
            Dulu waktu aku dan Nalesha masih pacaran, dia sering menginap disini, jadi jika tidur, dia selalu tidur di sofa ini, dan aku tidur di karpet, di bawah sofa. Dari bawah sana aku melihat raut wajahnya ketika tidur, begitu manis, atau ketika di pagi hari dia bangun dengan air liur di bantal, benar-benar tidak dapat dilupakan.
Yang paling ku rindukan adalah ketika dia terbangun tengah malam, dan mengeluh mengalami mimpi buruk padaku, aku selalu menemukan berbagai cara untuk membuatnya kembali tidur, membacakan dongeng untuknya, bermain game di gadget, menyanyikan lagu untuknya, atau mengajaknya mengobrol sampai bosan, pokoknya aku punya 1001 satu cara untuk membuatnya kembali tidur.
Aku melamunkan dia lagi? Hmm sudahlah, semuanya tidak akan kembali, baru ku sadar, sedari tadi aku hanya menonton channel yang banyak semutnya. Aku mulai memindah-mindahkan channel ke acara yang setidaknya dapat menghibur di malam menjelang pagi seperti ini. Akhirnya aku berhenti di acara siraman rohani pagi hari, entah kenapa aku malah memilih acara ini, padahal aku ini bukan tipe orang yang religius.
            Aku menghempaskan diriku ke sofa, dan meneguk kopi di cangkir yang sedari tadi ku diamkan. Aku menanggahkan kepalaku, melihat langit-langit apartemen ini, andai saja, andai saja waktu itu aku ada di sisinya dan menghiburnya seperti biasa, mungkin dia tidak akan jadi seperti sekarang, dan mungkin hubungan kami akan baik-baik saja, aku sendiri kaget ketika mendengar kabar itu dari teman-temannya, bodohnya aku, kenapa aku tidak curiga sedikitpun padanya waktu itu, lagi pula siapa yang menyangka orang sebaik Nalesha menjadi seperti itu.
Sudah beberapa bulan yang lalu aku mendapat kabar kalau Nalesha masuk pusat rehabilitasi, awalnya aku tidak percaya, dan menyangka kalau dia hanya depresi, namun setelah aku datang menemuinya, aku benar-benar kaget Nalesha yang baik, cantik, dan rajin beribadah itu menjadi seorang pecandu narkoba.
            Dulu aku mengenal Nalesha ketika kita habis beribadah, entah bagaimana awalnya aku dan dia bisa berkenalan, semuanya terjadi secara alami. Dulu aku melihat dia adalah gadis yang sangat periang, bersama ayah dan ibunya dia rajin sekali beribadah, bahkan setiap minggu pun aku tidak pernah melihat dia absen, mungkin dialah yang membuatku semangat kembali beribadah.
Akhirnya kita bertukar nomer handphone dan mulai berhubungan, setelah itu aku dan Nalesha menjadi sangat dekat, kita mulai sering jalan bersama, menghabiskan akhir pekan dengan liburan bersama, menginap di rumah keluarganya, atau bahkan menginap di apartemenku.
Aku sudah sangat nyaman berada didekatnya, bahkan aku berfikir kalau dialah perempuan yang selama ini aku cari, aku bermaksud untuk menikah dengannya, kurasa uang tabunganku sudah cukup, kalau untuk membeli rumah mungkin tidak sekarang, tapi untuk menyewa gedung, membeli mas kawin, gaun pengantin, dan segala perlengkapan menikah yang lain uangku sudah cukup.
            Aku mulai membicarakan ini dengan Nalesha dan keluarganya, mereka juga sangat senang mendengar kita segera menikah, namun entah kenapa saat hari dimana aku berbicara akan menikahi Nalesha di depan orang tuanya, raut wajah Nalesha terlihat murung dan terbebani.
Aku mempersiapkan segalanya, gedung sudah aku booking jauh-jauh hari, aku dan Nalesha juga sudah memilih jas dan gaun untuk pernikahan kita nanti, kita juga sudah memilih makanan dan minuman hidangan, juga dekorasi gedung.
Persiapan kita sudah matang, hingga tersisa satu bulan lebih lagi, dari sini sesuatu yang mengganjal itu mulai terkuak. Nalesha menjadi lebih sering menginap di apartemenku, bukannya aku tidak suka, tapi, bukannya aneh jika orang tuanya tidak mencari.
Di apartemenku pun dia jadi sering menangis, ketika ku tanyakan alasannya, dia hanya menggelengkan kepala, aku jadi bingung melihat sifatnya yang berubah, apa yang bisa ku perbuat, sudah ku tanyakan pada orang tuanya, tapi mereka selalu menjawab “Semua baik-baik saja.” Jadi ku pikir semuanya memang baik-baik saja.
Sampai akhirnya, dua minggu sebelum pernikahan akan dilaksanakan, Nalesha memintaku untuk mengakhiri hubungan kita, tentu aku menolaknya, tapi dia mengancam dia akan bunuh diri kalau aku tidak mengikuti permintaannya, jadi terpaksa ku kabulkan permintaan yang seharusnya bukan sebuah permintaan itu.
Aku depresi berat, dengan semua keadaan ini, semua yang sudah kupersiapkan, dicancel hanya karena satu kata “PUTUS” aku bingung, kesal, aku ingin marah, tapi pada siapa? Akhirnya kuputuskan untuk menenangkan diri. Aku coba menghubunginya lagi, namun sepertinya dia sudah ganti nomer handphone, aku mencoba ke rumahnya, namun rumah itu kosong, aku benar-benar bingung, aku jadi sering melamun di malam hari, dan sulit tidur. Disinilah awal kelainan tidurku berasal.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kabar dari temannya bahwa ayah dan ibu Nalesha bercerai, Nalesha sangat terpukul dengan kejadian itu, dia ingin marah pada orang tuanya namun dia tidak bisa, akhirnya dia melampiaskannya pada narkoba, dan beberapa bulan kemudian aku mendengar kalau dia masuk pusat rehabilitasi.
            Semua ini memang salahku, andaikan waktu itu aku menyelidiki mengapa sikap Nalesha menjadi berubah, mungkin ini tidak akan terjadi, andaikan aku tahu kalau orangtuanya akan bercerai, aku pasti disana untuk mencegahnya, andaikan aku tidak menuruti kemauannya, mungkin bunuh diri itu hanya sebuah ancaman, aaarrghhh... aku benar-benar menyesal, kenapa aku bisa jadi lelaki sebodoh ini!
Aku mulai gelisah, aku sudah tidak peduli dengan suara televisi dihadapanku, aku kesal, aku marah, ketika aku mengingat masa lalu, kenapa aku bisa jadi sebodoh itu! Aku mengambil cangkir berisi kopi itu lalu melemparkannya pada televisi, namun hanya mengenai speaker-nya saja, channelnya menjadi jelek dan kembali penuh dengan semut, bodo amat! Televisi itu jatuh ke belakang, namun masih dalam keadaan menyala, cangkirnya pecah, beling kaca berserakan dimana-mana, bercampur dengan air kopi di dalam cangkir, semuanya jatuh membasahi karpet dan lantai, bodoh! Kenapa aku tidak bisa menahan emosiku, kenapa aku malah melempar cangkir itu, aaarrgghhh... sial!
Tubuhku panas, aku menggigil, aku mendekati laci meja di pinggir televisi, mencari benda itu, dimana benda itu? Aku yakin aku menyimpannya disini, aku mengacak-ngacak isi laci itu, dan baru ku ingat kalau benda itu ada di laci sebelahnya, aaarrgghh... bodoh sekali aku ini! Ku ambil jarum suntik itu, kutusukan di lenganku dan mendorongnya perlahan, sambil membayangkan kesalahanku di masa lalu.
Kesalahan yang kuperbuat padamu di masa lalu begitu besar, sampai kau amat depresi dan tidak bisa menahan emosimu, maafkan aku Nal, ini semua gara-gara aku, andaikan aku sepintar Einstein, aku akan menemukan kata yang indah agar kau tidak mengenal kata yang kasar, dan kamu tidak akan menderita seperti sekarang. Nal dunia kita sudah berbeda, karena pengaruh obat itu, kamu jadi punya duniamu sendiri, menghayal, terjebak dalam satu imajinasi, dimana aku tidak disana untuk menemanimu. Tapi kamu tidak perlu khawatir Nal, sekarang aku sudah ada di duniamu, aku sekarang mengerti betapa tenangnya duniamu, dan aku sudah siap, untuk menemanimu di dunia yang seharusnya tidak kamu masuki, Nal aku sangat, menyayangimu. Lalu emosiku mereda seiring dengan habisnya cairan di jarum suntik ini.
            Tak lama kemudian, channel di televisi itu kembali benar, namun aku tidak bisa melihat gambarnya karena televisinya jatuh ke belakang, aku hanya bisa mendengar suaranya saja, dan saat itu terdengar suara seseorang sedang bicara, sepertinya dia pembawa acara siraman rohani tadi.
“Pemirsa, cinta itu bukan masalah yang baik atau yang buruk, karena oleh cinta, sesuatu yang buruk akan jauh terasa lebih baik.”
Lalu kabel televisi itu lepas, membuat televisi itu tidak menyala lagi, dan aku, kembali pada lamunanku.

TAMAT

(Tulisan ini merupakan tantangan dari kak Niken, ingin tahu siapa dia? Cek di Nikenikul.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar