Aku gosokan melingkar kain lap ini pada
kaca helmku, debu yang awalnya tebal menggunduk menghalangi pandanganku pada
jalanan, kini bertransformasi menjadi
kotoran yang membentuk telapak tangan, yang sedari tadi bersembunyi dibalik lap
agar tidak senasib. Cuaca Bandung memang sedang labil, kadang panas memasak
kulit lenganku yang tak tertutupi jaket, kadang pula hujan membanjiri kulit
kepala sampai rembes ke jaket denim kesayanganku, atau jika sedang sial bisa rembes
sampai seluruh badan.
Aku menaruh sepeda motor tuaku, sesuai
arahan peluit bapak paruh baya berbaju oranye ini, semuanya selesai, sepeda
motor tuaku terbaris rapi dengan sepeda motor yang lain, tempat parkir di depan
toko alat perlengkapan olahraga ini cukup ramai, suasana yang sama juga
tercipta saat aku masuk ke dalam toko ini, setidaknya tiga perempat pemilik
motor yang diparkir di depan toko ini ada di dalam toko. Saat masuk aku
disuguhi dengan berbagai sepatu olahraga yang menumpuk membentuk sebuah tebing
yang siap menimpa seluruh orang yang ada di toko ini jika saja tidak di topang
dengan rak yang tersusun menebing pula.
Aku
berjalan ke etalase yang paling dekat
dengan pintu masuk, keadaan semakin terasa riuh saat aku benar-benar ada di
dalam sini, suara banyak orang bicara secara bersamaan yang menyerupai lebah
saat terbang, semakin memperkuat kata riuh dalam toko ini, baik hati sekali
temanku, merekomendasikan aku toko perlengkapan olahraga semegah ini.
Ku
perhatikan kembali etalase ini sambil
menunggu yang empunya toko datang untuk melayaniku, ku lihat foto seoarang anak
seumuranku, berfoto dengan pemain sepak bola yang berbeda-beda, mulai dari
Atep, Hilton Moreira, Lorenzo Cabanas, Kosin, dan di foto yang terakhir ada
tiga orang, anak yang selalu ada dalam foto, seorang bapak bapak dengan rambut
yang memutih dengan mata sipit, dan Messi, apa? Messi? Aku terkagum si anak
pernah berfoto dengan pemain bola terbaik dunia tahun ini, pemain bola
favoritku, pemain bola yang posternya ada di kamar tidurku, foto itu dihiasi
tulisan mandarin yang aku tidak mengerti dan di sudut kiri bawah foto tersebut
ditulis Qatar, 2013.
“Selamat siang, adik mau cari apa?”
Suara
seorang laki-laki seumuran ayahku itu melepas kekagumanku pada foto Messi, anak
itu, dan bapak berambut putih dengan mata sipit yang sekarang ada di depanku.
Ingin sekali aku bertanya balik “Bapak pemilik toko ini?” tapi sepertinya ada
pertanyaan yang harus dijawab.
“Oh, saya cari ini, mmm, sepatu
futsal.” Ucapku yang baru saja terbangun dari kekagumanku pada sosok yang dapat
bertemu langsung dengan idolaku.
Bapak
pemilik toko ini memperhatikanku sebentar, kadang aku merasa dari pandangannya
ada rasa yang tersembunyikan, entah rasa apa itu.
“Mau yang seperti apa?” bapak itu
kembali mengajukan pertanyaan.
Aku
mencari foto sepatu yang ku incar di ponselku, aku mencari sepatu futsal
keluaran 2010, yang diproduksi oleh salah satu aparel terkenal, selain aku suka
barang retro, banyak yang bilang
kalau sepatu itu juga nyaman dipakai, dan membuat kita mudah berakselerasi saat
menggiring si kulit bundar. Aku sudah cari kemana-mana tapi tidak membuahkan
hasil, sampai akhirnya aku diarahkan untuk ke toko ini.
“Sepatu ini...”
Seperti
tersengat listrik, terjepit celah pintu, seperti berita buruk melintas melewati
telinganya, bapak pemilik toko itu tertegun sejenak, dia menatapku sejanak lalu
mengembalikan ponselku, setelah itu dia berbalik menyisakan wajah aneh itu
dalam ingatanku, dia memanggil pegawai lain, lalu membisikan sesuatu, si
Pegawai hanya mengangguk mengiyakan perintah bossnya, sambil sesekali matanya
mencuri-curi pandang ke arahku.
Suasana
jadi berubah, toko ini jadi ber-aura museum, seperti ada bau kronologi waktu
yang berterbangan, atau kenangan yang berserakan, seperti ada tawa-tawa kecil
yang sudah hilang tersapu banyaknya orang yang pernah datang kemari. Aku
memandangi wajah bapak pemilik toko ini, semua pertanyaan di otakku sudah
mendemo ingin segara keluar.
“Pak, bolehkah saya bertanya.”
Tatapan
bapak itu kini berubah, tidak seperti pada awal kita bertemu, kini seperti ada
sorotan kerinduan yang terpancar menghangatkan suasana.
“Ya silahkan, mau bertanya apa dik?”
suara khas keturunan mandarinnya tidak lepas menyelimuti pertanyaan sekaligus signal persutujuan skill jurnalisku boleh diluapkan.
“Toko ini ramai juga ya pak, dulu
pemain-pemain Persib sudah pernah kesini ya pak?” tanyaku, memastikan bahwa
foto itu bukan editan.
“Wah adik belum tahu, dulu Hilton,
Atep, Maman, Hariono kalau beli sepatu itu ke bapak, tidak hanya sepatu sih,
tas, kaus kaki, bola, pasti belinya ke toko bapak, bapak dan Robby Darwis itu
satu SMA, kita kebetulan teman dekat.” Kini raut wajahnya berubah jadi bahagia
dan penuh kebanggaan, meski aku tahu bahwa sesuatu yang di sembunyikan oleh bapak
ini bukanlah soal dia dan Roby Darwis yang teman satu angkatan.
“Wah hebat dong pak, dari dulu saya
ngefans sama Persib, saya selalu foto sama pemain-pemainnya setiap menonton ke
stadion, atau saya selalu sempatkan untuk sekedar melihat Persib latihan ke
Stadion si Dolig, eh sekarang saya ada di toko olahraga yang pemiliknya teman
baik dengan Roby Darwis.” Ucapku senang.
Suasana
semakin cair, pembicaraan kita mulai melebar ke sejarah terbentuknya klub
sepakbola ini, lalu ke sejarah pertempuran pendukung Persib dengan salah satu
pendukung tim lain, lalu ke sejarah final Persib di Senayan, sampai ujungnya ke
Persib yang puasa juara.
“Dulu Persib belum ada pemain asing,
tapi bisa juara.” Keluh si bapak yang kecewa melihat permainan Persib
akhir-akhir ini.
Lalu
pembicaraan kita diakhiri dengan tawa, dan kemudian hening yang sangat lama.
Aku kembali membuka pembicaraan, kali ini tentu perihal Messi, anak yang
seumuran denganku dan bapak berambut putih yang ada di foto yang dihiasi dengan
tulisan mandarin itu.
“Ini anak bapak? Beruntung sekali ia
dapat berfoto dengan idolaku, bapak juga beruntung sekali pak, susah loh
berfoto dengan mega bintang seperti Messi, saya jadi iri pak.” ucapku membuka
pembicaraan.
Raut wajahnya kembali berubah, Aura museum
itu kembali hadir, kali ini lebih kuat, aku jelas mendapat tekanan, sorotan
matanya berat, aku lihat matanya berkaca-kaca, tangannya bergetar mengepal,
mulutnya kini ikut bergetar, menahan sebuah suara keluar, tetasan air itu mulai
turun ke pipinya, apa yang terjadi, aku merasa ada sebuah panah yang menusuk
nusuk hatiku, sebuah panah yang diciptakan dari rasa kerinduan yang lama
disembunyikan, ada yang salah dengan tempat ini, aku merinding, aku diam
mematung tidak bisa bergerak atau berucap, suara tangisan itu masih bisa ditahan,
tapi malah menjadi semakin jelas saat sesenggukan tergema oleh sepatu yang
disusun menebing.
“Dion...” Suara tangisan itu sudah
tidak bisa ditahan, menggema di toko ini, melolong seperti seekor serigala yang
kelaparan dan ditinggal kawanannya, sedangkan aku hanya diam mematung.
“Dion itu anak bapak satu-satunya,
waktu itu kita pergi ke Qatar untuk menonton tim kesayangannya Barcelona, dan
dia bermaksud ingin difoto dengan Messi idolanya, idola kamu sama Dion sama dik,
akhirnya setelah pertandingan selesai dengan susah payah kita bisa difoto
dengan Messi, Dion senang sekali, kita lalu pulang ke hotel untuk istirahat,
besoknya ada sebuah kesalahan saat kita membeli tiket maskapai penerbangan,
tiket bapak dan tiket Dion berbeda jadwal keberangkatan, jadi Dionlah yang
berangkat duluan, naas saat diperjalanan Maskapai yang ditumpangi Dion hilang
kontak dengan bandara setempat, hingga dinyatakan hilang, bapak tidak mendapat
kabar soal Dion sampai sekarang, pihak maskapai hanya dapat meminta maaf dan
memberi uang santunan, tapi nyatanya dengan semua itu Dion tidak kembali.” Ucap
bapak itu bercerita panjang lebar.
Aku
hanya diam, aku sampai mengeluarkan keringat dingin melihat bapak ini menangis.
“Maafkan saya pak, saya tidak tahu.”
Ucapku karena merasa rasa penasaranku baru saja membuat seseorang mengubah
dirinya menjadi alat perekam film tersedih yang pernah ada.
“Sudahlah dik, tidak perlu minta maaf,
bukan salah kamu kok.” Sesenggukan dan air matanya masih terus mengalir
“Pak...”
Tiba-tiba
pegawai yang tadi disuruh bapak untuk kebelakang, telah kembali dengan membawa
kardus sepatu yang sudah berdebu, kini kardus itu berpindah tangan ke bapak
lalu ke etalase, bapak membuka kardus
sepatu itu dan, isi kardus itu...
Adalah...
Sepatu
yang sedang aku incar...
“Ini adalah sepatu favorit Dion, dia
dulu kalau main futsal sama temennya suka banget pake ini, kamu pakai sepatu
ukuran berapa dik?” tanyanya yang masih dibaluti rasa sedih.
“41.” Jawabku.
“Tuh, ukuran sepatu kalian sama, kamu
beruntung.” Jawabnya, tangisnya kini mulai reda.
Aku tidak mengerti kenapa suasana di toko
ini seperti kena sihir, sekarang suasananya berubah hangat dan penuh
kekeluargaan, seperti ada ikatan antara aku dan bapak yang transparan dengan
perantara Dion anaknya, tiba-tiba saja aku ingin memeluk bapak, tapi tubuh kami
terpisah jauh oleh jarak etalase, itu
juga yang mungkin membuat bapak sedih, dia sudah tidak dapat memeluk Dion,
tubuh mereka juga terpisah jauh oleh jarak etalase,
namun kali ini mereka dipisahkan oleh etalase
yang cukup besar.
“Kamu mirip sekali dengan Dion dik,
bapak jadi kangen.” Ucap bapak sambil mengeluarkan foto bapak, Dion, dan Messi
yang ada di etalase.
Seperti
biasa aku hanya bisa diam kali ini.
“Dion, bapak tahu tiket pesawat kita
berbeda karena pesawat kamu tujuannya bukan Jakarta tapi Surga, Dion bapak
ingin sekali lihat wajah kamu meski hanya berbentuk jenazah, tapi tuhan berkata
lain, dia benar-benar menghilangkanmu dari muka bumi, maafkan bapak nak, bapak
tidak bisa memeluk kamu disaat terakhir kamu ketakutan.”
Bapak
kembali menangis, tapi kali ini suasanannya berubah, seperti ada benang kusut
yang lurus kembali, suasanannya penuh haru bukan penderitaan seperti awal tadi,
ada rasa kerinduan yang sudah tertumpahkan.
“Berapa harga sepatu ini pak?”
Tanyaku.
“Ambil saja dik, tidak apa-apa.”
Jawabnya
Aku
merasa tidak enak, aku sudah memaksa untuk membayar, tapi bapak tetap menolak,
dia bilang Dion dulu suka bantu teman-temannya, terpaksa aku ambil sepatu ini
tanpa uang sepeser pun dan tanpa keresek, bapak berpesan padaku untuk merawat
sepatu itu baik-baik, pertemuan kami berakhir dengan pelukan hangat bapak, lalu
aku berjalan keluar meninggalkan toko megah ini, toko yang kental akan sejarah,
aku bisa merasakan tadi adalah tawa dari Dion yang dulu sering bermain di toko
ini, dia masih ada, tapi tidak berwujud, dia ada dalam hati bapak dan toko ini,
dia menjadi daya tarik tersendiri bagi tiga perempat orang yang setiap hari
masuk ke toko ini, dia menciptakan suasana kebahagiaan, itu kenapa toko ini
selalu terlihat ramai, itu semua karena Dion.
Aku keluar, mengambil helmku, dan dus
sepatu ini, kubuka dus itu kembali, ternyata didalamnya ada salinan foto Messi,
Dion, dan bapak, yang dihiasi dengan tulisan mandarin, minggu-minggu ini aku
jadi mulai belajar bahasa mandarin, dan setelah aku telaah ternyata tulisan
mandarin itu berbunyi
“Dion,
Zai Jian.”
Dan
Dion tersenyum, dalam foto...
TAMAT
Such a heartwarming story.
BalasHapusThanks for sharing.