Kamis, 31 Maret 2016

Etalase

Aku gosokan melingkar kain lap ini pada kaca helmku, debu yang awalnya tebal menggunduk menghalangi pandanganku pada jalanan, kini bertransformasi menjadi kotoran yang membentuk telapak tangan, yang sedari tadi bersembunyi dibalik lap agar tidak senasib. Cuaca Bandung memang sedang labil, kadang panas memasak kulit lenganku yang tak tertutupi jaket, kadang pula hujan membanjiri kulit kepala sampai rembes ke jaket denim kesayanganku, atau jika sedang sial bisa rembes sampai seluruh badan.

Aku menaruh sepeda motor tuaku, sesuai arahan peluit bapak paruh baya berbaju oranye ini, semuanya selesai, sepeda motor tuaku terbaris rapi dengan sepeda motor yang lain, tempat parkir di depan toko alat perlengkapan olahraga ini cukup ramai, suasana yang sama juga tercipta saat aku masuk ke dalam toko ini, setidaknya tiga perempat pemilik motor yang diparkir di depan toko ini ada di dalam toko. Saat masuk aku disuguhi dengan berbagai sepatu olahraga yang menumpuk membentuk sebuah tebing yang siap menimpa seluruh orang yang ada di toko ini jika saja tidak di topang dengan rak yang tersusun menebing pula.
Aku berjalan ke etalase yang paling dekat dengan pintu masuk, keadaan semakin terasa riuh saat aku benar-benar ada di dalam sini, suara banyak orang bicara secara bersamaan yang menyerupai lebah saat terbang, semakin memperkuat kata riuh dalam toko ini, baik hati sekali temanku, merekomendasikan aku toko perlengkapan olahraga semegah ini.
Ku perhatikan kembali etalase ini sambil menunggu yang empunya toko datang untuk melayaniku, ku lihat foto seoarang anak seumuranku, berfoto dengan pemain sepak bola yang berbeda-beda, mulai dari Atep, Hilton Moreira, Lorenzo Cabanas, Kosin, dan di foto yang terakhir ada tiga orang, anak yang selalu ada dalam foto, seorang bapak bapak dengan rambut yang memutih dengan mata sipit, dan Messi, apa? Messi? Aku terkagum si anak pernah berfoto dengan pemain bola terbaik dunia tahun ini, pemain bola favoritku, pemain bola yang posternya ada di kamar tidurku, foto itu dihiasi tulisan mandarin yang aku tidak mengerti dan di sudut kiri bawah foto tersebut ditulis Qatar, 2013.
          “Selamat siang, adik mau cari apa?”
Suara seorang laki-laki seumuran ayahku itu melepas kekagumanku pada foto Messi, anak itu, dan bapak berambut putih dengan mata sipit yang sekarang ada di depanku. Ingin sekali aku bertanya balik “Bapak pemilik toko ini?” tapi sepertinya ada pertanyaan yang harus dijawab.
          “Oh, saya cari ini, mmm, sepatu futsal.” Ucapku yang baru saja terbangun dari kekagumanku pada sosok yang dapat bertemu langsung dengan idolaku.
Bapak pemilik toko ini memperhatikanku sebentar, kadang aku merasa dari pandangannya ada rasa yang tersembunyikan, entah rasa apa itu.
          “Mau yang seperti apa?” bapak itu kembali mengajukan pertanyaan.
Aku mencari foto sepatu yang ku incar di ponselku, aku mencari sepatu futsal keluaran 2010, yang diproduksi oleh salah satu aparel terkenal, selain aku suka barang retro, banyak yang bilang kalau sepatu itu juga nyaman dipakai, dan membuat kita mudah berakselerasi saat menggiring si kulit bundar. Aku sudah cari kemana-mana tapi tidak membuahkan hasil, sampai akhirnya aku diarahkan untuk ke toko ini.
          “Sepatu ini...”
Seperti tersengat listrik, terjepit celah pintu, seperti berita buruk melintas melewati telinganya, bapak pemilik toko itu tertegun sejenak, dia menatapku sejanak lalu mengembalikan ponselku, setelah itu dia berbalik menyisakan wajah aneh itu dalam ingatanku, dia memanggil pegawai lain, lalu membisikan sesuatu, si Pegawai hanya mengangguk mengiyakan perintah bossnya, sambil sesekali matanya mencuri-curi pandang ke arahku.
Suasana jadi berubah, toko ini jadi ber-aura museum, seperti ada bau kronologi waktu yang berterbangan, atau kenangan yang berserakan, seperti ada tawa-tawa kecil yang sudah hilang tersapu banyaknya orang yang pernah datang kemari. Aku memandangi wajah bapak pemilik toko ini, semua pertanyaan di otakku sudah mendemo ingin segara keluar.
          “Pak, bolehkah saya bertanya.”
Tatapan bapak itu kini berubah, tidak seperti pada awal kita bertemu, kini seperti ada sorotan kerinduan yang terpancar menghangatkan suasana.
          “Ya silahkan, mau bertanya apa dik?” suara khas keturunan mandarinnya tidak lepas menyelimuti pertanyaan sekaligus signal persutujuan skill jurnalisku boleh diluapkan.
          “Toko ini ramai juga ya pak, dulu pemain-pemain Persib sudah pernah kesini ya pak?” tanyaku, memastikan bahwa foto itu bukan editan.
          “Wah adik belum tahu, dulu Hilton, Atep, Maman, Hariono kalau beli sepatu itu ke bapak, tidak hanya sepatu sih, tas, kaus kaki, bola, pasti belinya ke toko bapak, bapak dan Robby Darwis itu satu SMA, kita kebetulan teman dekat.” Kini raut wajahnya berubah jadi bahagia dan penuh kebanggaan, meski aku tahu bahwa sesuatu yang di sembunyikan oleh bapak ini bukanlah soal dia dan Roby Darwis yang teman satu angkatan.
          “Wah hebat dong pak, dari dulu saya ngefans sama Persib, saya selalu foto sama pemain-pemainnya setiap menonton ke stadion, atau saya selalu sempatkan untuk sekedar melihat Persib latihan ke Stadion si Dolig, eh sekarang saya ada di toko olahraga yang pemiliknya teman baik dengan Roby Darwis.” Ucapku senang.
Suasana semakin cair, pembicaraan kita mulai melebar ke sejarah terbentuknya klub sepakbola ini, lalu ke sejarah pertempuran pendukung Persib dengan salah satu pendukung tim lain, lalu ke sejarah final Persib di Senayan, sampai ujungnya ke Persib yang puasa juara.
          “Dulu Persib belum ada pemain asing, tapi bisa juara.” Keluh si bapak yang kecewa melihat permainan Persib akhir-akhir ini.
Lalu pembicaraan kita diakhiri dengan tawa, dan kemudian hening yang sangat lama. Aku kembali membuka pembicaraan, kali ini tentu perihal Messi, anak yang seumuran denganku dan bapak berambut putih yang ada di foto yang dihiasi dengan tulisan mandarin itu.
          “Ini anak bapak? Beruntung sekali ia dapat berfoto dengan idolaku, bapak juga beruntung sekali pak, susah loh berfoto dengan mega bintang seperti Messi, saya jadi iri pak.” ucapku membuka pembicaraan.
Raut wajahnya kembali berubah, Aura museum itu kembali hadir, kali ini lebih kuat, aku jelas mendapat tekanan, sorotan matanya berat, aku lihat matanya berkaca-kaca, tangannya bergetar mengepal, mulutnya kini ikut bergetar, menahan sebuah suara keluar, tetasan air itu mulai turun ke pipinya, apa yang terjadi, aku merasa ada sebuah panah yang menusuk nusuk hatiku, sebuah panah yang diciptakan dari rasa kerinduan yang lama disembunyikan, ada yang salah dengan tempat ini, aku merinding, aku diam mematung tidak bisa bergerak atau berucap, suara tangisan itu masih bisa ditahan, tapi malah menjadi semakin jelas saat sesenggukan tergema oleh sepatu yang disusun menebing.
          “Dion...” Suara tangisan itu sudah tidak bisa ditahan, menggema di toko ini, melolong seperti seekor serigala yang kelaparan dan ditinggal kawanannya, sedangkan aku hanya diam mematung.
          “Dion itu anak bapak satu-satunya, waktu itu kita pergi ke Qatar untuk menonton tim kesayangannya Barcelona, dan dia bermaksud ingin difoto dengan Messi idolanya, idola kamu sama Dion sama dik, akhirnya setelah pertandingan selesai dengan susah payah kita bisa difoto dengan Messi, Dion senang sekali, kita lalu pulang ke hotel untuk istirahat, besoknya ada sebuah kesalahan saat kita membeli tiket maskapai penerbangan, tiket bapak dan tiket Dion berbeda jadwal keberangkatan, jadi Dionlah yang berangkat duluan, naas saat diperjalanan Maskapai yang ditumpangi Dion hilang kontak dengan bandara setempat, hingga dinyatakan hilang, bapak tidak mendapat kabar soal Dion sampai sekarang, pihak maskapai hanya dapat meminta maaf dan memberi uang santunan, tapi nyatanya dengan semua itu Dion tidak kembali.” Ucap bapak itu bercerita panjang lebar.
Aku hanya diam, aku sampai mengeluarkan keringat dingin melihat bapak ini menangis.
          “Maafkan saya pak, saya tidak tahu.” Ucapku karena merasa rasa penasaranku baru saja membuat seseorang mengubah dirinya menjadi alat perekam film tersedih yang pernah ada.
          “Sudahlah dik, tidak perlu minta maaf, bukan salah kamu kok.” Sesenggukan dan air matanya masih terus mengalir
          “Pak...”
Tiba-tiba pegawai yang tadi disuruh bapak untuk kebelakang, telah kembali dengan membawa kardus sepatu yang sudah berdebu, kini kardus itu berpindah tangan ke bapak lalu ke etalase, bapak membuka kardus sepatu itu dan, isi kardus itu...





Adalah...





Sepatu yang sedang aku incar...
          “Ini adalah sepatu favorit Dion, dia dulu kalau main futsal sama temennya suka banget pake ini, kamu pakai sepatu ukuran berapa dik?” tanyanya yang masih dibaluti rasa sedih.
          “41.” Jawabku.
          “Tuh, ukuran sepatu kalian sama, kamu beruntung.” Jawabnya, tangisnya kini mulai reda.
Aku tidak mengerti kenapa suasana di toko ini seperti kena sihir, sekarang suasananya berubah hangat dan penuh kekeluargaan, seperti ada ikatan antara aku dan bapak yang transparan dengan perantara Dion anaknya, tiba-tiba saja aku ingin memeluk bapak, tapi tubuh kami terpisah jauh oleh jarak etalase, itu juga yang mungkin membuat bapak sedih, dia sudah tidak dapat memeluk Dion, tubuh mereka juga terpisah jauh oleh jarak etalase, namun kali ini mereka dipisahkan oleh etalase yang cukup besar.
          “Kamu mirip sekali dengan Dion dik, bapak jadi kangen.” Ucap bapak sambil mengeluarkan foto bapak, Dion, dan Messi yang ada di etalase.
Seperti biasa aku hanya bisa diam kali ini.
          “Dion, bapak tahu tiket pesawat kita berbeda karena pesawat kamu tujuannya bukan Jakarta tapi Surga, Dion bapak ingin sekali lihat wajah kamu meski hanya berbentuk jenazah, tapi tuhan berkata lain, dia benar-benar menghilangkanmu dari muka bumi, maafkan bapak nak, bapak tidak bisa memeluk kamu disaat terakhir kamu ketakutan.”
Bapak kembali menangis, tapi kali ini suasanannya berubah, seperti ada benang kusut yang lurus kembali, suasanannya penuh haru bukan penderitaan seperti awal tadi, ada rasa kerinduan yang sudah tertumpahkan.
          “Berapa harga sepatu ini pak?” Tanyaku.
          “Ambil saja dik, tidak apa-apa.” Jawabnya
Aku merasa tidak enak, aku sudah memaksa untuk membayar, tapi bapak tetap menolak, dia bilang Dion dulu suka bantu teman-temannya, terpaksa aku ambil sepatu ini tanpa uang sepeser pun dan tanpa keresek, bapak berpesan padaku untuk merawat sepatu itu baik-baik, pertemuan kami berakhir dengan pelukan hangat bapak, lalu aku berjalan keluar meninggalkan toko megah ini, toko yang kental akan sejarah, aku bisa merasakan tadi adalah tawa dari Dion yang dulu sering bermain di toko ini, dia masih ada, tapi tidak berwujud, dia ada dalam hati bapak dan toko ini, dia menjadi daya tarik tersendiri bagi tiga perempat orang yang setiap hari masuk ke toko ini, dia menciptakan suasana kebahagiaan, itu kenapa toko ini selalu terlihat ramai, itu semua karena Dion.
Aku keluar, mengambil helmku, dan dus sepatu ini, kubuka dus itu kembali, ternyata didalamnya ada salinan foto Messi, Dion, dan bapak, yang dihiasi dengan tulisan mandarin, minggu-minggu ini aku jadi mulai belajar bahasa mandarin, dan setelah aku telaah ternyata tulisan mandarin itu berbunyi








“Dion, Zai Jian.”







Dan Dion tersenyum, dalam foto...


TAMAT

1 komentar: