Sore ini, aku duduk, dengan segelas
kopi hitam yang dari tadi hanya ku aduk dengan sendok kecil ini, mencium bau
amis air laut, dan mendengar seruan ombak yang datang menghantam karang. Pemandangan
dari sini memang indah, kafe di dekat pantai, dengan tempat yang terbuka dan
ketinggian yang pas untuk menikmati pemandangan laut. Cuaca hari ini agak
panas, dan mungkin tak akan pernah sejuk, tentu saja ini masuk bulan Agustus,
Indonesia sedang mengalami musim kemarau, tapi belaian angin yang mengusap
punggung dan kulit kepala lumayan menyegarkan, hari ini menurutku sempurna!
Tapi rasanya, masih ada yang aneh.
“Yang, kamu kenapa sih? Kok ngelamun
gitu? Lagi mikirin mantan kamu ya?” ucapnya dengan nada kesal.
“Ngga ngelamun kok.” Jawabku singkat.
Oh,
aku tau yang membuat hari ini jadi kurang sempurna, yah, sifatmu...
“Tapi dari tadi kok kopinya cuman dikocek-kocek, ngga diminum?” Tanya-nya
lagi padaku.
“Bebas dong, kopinya aja yang aku kocek-kocek ngga protes.” Jawabku lagi.
“Terserah kamu deh, gitu sih ya, yang
belum bisa move on dari mantan mah.” Ucapnya ketus.
Aku
berhenti mengocek-ngocek kopi
hitamku, lalu memandanginya dengan serius.
“Sani! Stop Bicara soal mantan!” nada bicaraku sedikit naik.
“tuh kan, disindir sedikit soal mantan
langsung sewot, dasar laki-laki!” Ucapnya lagi.
Kesabaranku
sudah habis, suasana kafe jadi tidak enak, aku tidak meminum setegukpun kopi
yang kupesan pagi ini, entah karena kopi ini memang pait, atau memang suasana
hatiku yang sedang pait. Aku berdiri dan beranjak pergi menuju pintu kafe,
hendak meninggalkan kafe ini, tapi suara dan pelukan hangat dari belakang
perempuan ini benar-benar melumpuhkan kakikku.
“Jangan pergi, maaf tadi aku cuman
becanda.“
Ucapnya
sambil menyembunyikan wajahnya ke punggungku, punggungku sepertinya mulai
membasah,menandakan air matanya jatuh dari matanya.
“aku
cuman gak mau hubungan kita kaya gini, kamu banyak ngelamun, ngelamun
hal
yang bahkan aku gak tau, aku mau kita kaya pasangan lainnya, becanda,
ketika
si cewek bicara soal masalahnya si cowok tuh denger, terus ngasih
tanggapan,
bukannya ‘iya-iya’ gak jelas, aku ngerasa kamu jadi beda, beda
jauh
banget, beda banget dari waktu kita pertama kenal.” Lanjutnya.
Aku
tidak berani berbalik, hal ini sudah sering terjadi, semakin kita mencoba memperbaiki
hubungan ini semakin rusak juga ketika kita bertengkar kembali, hubungan kita
seperti guci yang pecah, meskipun kita sudah memperbaikinya dengan lem, bekas
retakannya tidak akan hilang.
“Maaf San, aku ingin keluar mencari
udara segara, jadi tolong lepaskan.” Ucapku lembut, suarakupun tak kalah
gemetar dari tangisannya, yang aku tau, sudah berapa kali alasan itu kugunakan
untuk melepas tangisannya.
Akhirnya
dia melepaskanku, dan aku pergi keluar meninggalkan Sani menangis sendirian
seperti sebelumnya, aku memang terlalu bodoh untuk menjadi seorang laki-laki,
tega meninggalkan pacarnya menangis sendirian, tapi mau bagaimana lagi, hal ini
sudah terlalu sering terjadi, aku takut jika aku masih disana, hubungan kita
malah tidak bisa diperbaiki lagi.
Aku
berjalan mendekati pesisir pantai, menginjak pasir putih yang lembut, dan
mendengar lantunan indah ombak dan angin yang saling bersahutan, aku duduk di
pasir dan menatap luasnya laut ini, matahari terbenam akan segera datang,
banyak orang bilang matahari terbenam di musim panas adalah hal yang paling
indah, itu kenapa sekolah kita mengadakan kelulusan di pantai seperti sekarang.
Aku kembali menatap laut ini, tapi
kini ada yang mengalihkan pandanganku, seorang gadis dengan baju putih dan
rambut yang terkuncir, sedang duduk menghadap laut, sama persis dengan apa yang
kulakukan sekarang, tadi perasaan aku tidak melihatnya, atau mungkin aku
terlalu terpaku pada laut, sehingga aku tidak menyadari kedatangannya. Kenapa
aku jadi memikirkannya, padahal aku tidak kenal dia, pandanganku sulit lepas
dari sosoknya, sial! Aku ingin berkenalan dengannya.
Tiba-tiba
dia membalikan badan, entah apa yang membuatnya seperti itu, aku kaget dan
memalingkan wajahku yang tertangkap basah sedang memandanginya dari belakang.
Jantungku berdebar, wajahku memerah, sebenarnya apa yang aku rasakan, tidak
mungkin aku jatuh cinta semudah ini, saat aku memalingkan wajah lirikan mataku
tidak dapat berbohong, aku selalu ingin memandangnya.
Dia terus memandang ke arahku, jantungku
semakin berdebar, aku tidak dapat mengelak lagi, aku balik memandang kepadanya,
sekarang dari jarak sejauh ini kita saling memandang. Tanpa kusangka dia
melemparkan senyuman dan melambaikan tangannya ke arahku, aku benar-benar salah
tingkah dibuatnya. Aku melihat sekelilingku, dan kurasa memang tidak ada orang
lain selain aku, aku menunjuk diriku dengan jari tangahku sebagai isyarat bahwa
yang dia lambaikan tangan itu benar-benar aku, dia membalasnya dengan anggukan
kepala, itu artinya dia benar-benar memanggilku, aku tidak tahu harus berkata
apa yang jelas aku sangat senang sekali.
Setiap
satu langkahku ke arahnya satu kali juga jantungku hampir berhenti berdetak,
aku semakin dekat dengannya, dan dengan jarak sedekat ini aku tahu kalau,
senyumannya sangat manis.
“Manggil saya?” Ucapku gugup.
“Iya, sini duduk sebelah aku.”
Jawabnya lagi.
Apa
aku tidak salah dengar, dia baru kenal denganku beberapa menit yang lalu, tapi
dia langsung mengajakku duduk bersama.
Aku
menganggukan kepala sebagai anda iya, dan duduk di sampingnya, di dermaga
ini,sambil memandangi laut.
“Cerita?” Ucap perempuan itu.
“Cerita apa?” Jawabku kebingungan.
“Wajah kamu menandakan kamu banyak
masalah, kamu jangan sungkan, anggap saja aku pacarmu.” Ucapnya dengan polos.
“Justru karena menganggap kamu sebagai
pacar, mungkin saya jadi gak bisa cerita.” Jawabku.
“Kok gitu? Bukannya pacar itu tempat
kita berbagi dan menyelesaikan masalah.” Jawabnya lagi.
“Kalau masalahnya pacar kita sendiri
bagaimana?” Ku yakin kini dia skak mat.
“Kamu pernah melakukan kesalahan pas
lagi pacaran gak?” dia malah balik bertanya.
Aku
diam sejenak, mengingat kesalahan apa saja yang telah aku lakukan, aku
mengingatnya, ada satu kejadian yang menurutku itu murni kesalahanku.
“Saya pernah membiarkannya menunggu
kehujanan di sebuah taman selama 1 Jam, tapi saya langsung meminta maaf dan
membayar semuanya.” Ucapku.
Dia
diam sejenak, lalu tersenyum lebar, mungkin dia berpikir kalau aku ini orang
idiot yang tega meninggalkan pacarnya kehujanan.
“Berapa
kali kamu pernah terlambat menjemputnya?” tanyanya lagi.
DEG...
Jantungku
berdetak, aku yang sekarang skak mat.
“Entah, sering sekali.” Jawabku jujur.
“Apa dia memaafkanmu?” Tanyanya.
“Ya.” Jawabku singkat..
“Apa dia pernah berbuat kasar padamu
kalau kamu berbuat kesalahan?” Tanyanya lagi.
“Tidak.” jawabku.
“Apa dia pernah meninggalkanmu ketika
dia telat dijemput?” tanya wanita itu.
“Tidak, dia selalu menungguku
bagaimanapun situasinya.” jawabku lagi.
“Apa pernah dia memanggil orang lain
untuk menjemputnya, ketika kamu sangat terlambat menjemputnya?” Tanyanya lagi.
“Tidak.” ucapku, kali ini sambil
menggelengkan kepala.
“Lalu kenapa, kamu bisa
meninggalkannya hanya gara-gara masalah kecil?” Ucapnya tegas.
Tidak
ada yang bisa kukatakan, aku skak mat.
“Wanita itu sangat menyayangimu,
jemput dan minta maaf padanya.” Lanjutnya padaku.
“Bagaimana kamu tahu, dia
menyayangiku?” tanyaku.
“Sejak tadi dia dibelakang,
memperhatikan kita mengobrol berdua, mungkin dia cemburu.” Ucapnya.
Aku langsung menengok ke belakang, dan
benar Sani sedang ada di ujung berlainan dermaga ini memperhatikan kita berdua,
entah sejak kapan.
“Tunggu apa lagi? Dia sudah
menunggumu, jangan sampai kamu lepaskan orang yang sayang padamu.” Ucapnya
Aku
berdiri, bersiap mengejar Sani, tapi sebelumnya aku melontarkan satu
pertanyaan.
“Dari tadi kita mengobrol tapi kita
belum saling tahu nama kita, namaku Rafa, siapa namamu?” tanyaku padanya.
Gadis
itu tersenyum lebar, dan tidak menatapku, tapi senyuman itu aku kenal sekali,
dia itu.
“Namaku Agita Darmasani.” Ucapnya
Aku
tercengang, dia ternyata Sani pacarku, tapi bagimana mungkin dia bisa ada di
dua tempat yang berbeda.
“Cepat kejar aku, nanti aku keburu
marah besar loh.” Ucapnya dengan senyuman indah di bibirnya.
Aku hanya tersenyum lalu berbalik dan mengejarnya,
dia berlari menjauh, tapi aku berhasil menyusulnya, dia terlihat menangis, aku
menghentikan langkahnya.
“Tunggu aku bisa jelaskan.” Ucapku.
“Gak ada yang perlu dijelasin lagi
Raf.” Ucapnya sambil menangis.
Aku
memeluknya dan berkata.
“Aku bodoh maafkan aku, kamu tidak
akan percaya apa yang akan kutakan sekarang, percuma aku menjelaskan, tapi aku
hanya ingin bilang, maafkan aku, aku tidak mau kehilangan kamu.”
Sani
‘yang lain’ di ujung dermaga itu, tersenyum melihatku, lalu selanjutnya dia
menghilang, bersama tenggelamnya matahari hari ini, dan berakhirnya cerita ini.
TAMAT
(Saya akui judul cerpen ini yang paling aneh :| dan ahmpir saja saya lupa kalau ini hari minggu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar