Minggu, 08 November 2015

Gadis Dermaga Dari Masa Depan

          Sore ini, aku duduk, dengan segelas kopi hitam yang dari tadi hanya ku aduk dengan sendok kecil ini, mencium bau amis air laut, dan mendengar seruan ombak yang datang menghantam karang. Pemandangan dari sini memang indah, kafe di dekat pantai, dengan tempat yang terbuka dan ketinggian yang pas untuk menikmati pemandangan laut. Cuaca hari ini agak panas, dan mungkin tak akan pernah sejuk, tentu saja ini masuk bulan Agustus, Indonesia sedang mengalami musim kemarau, tapi belaian angin yang mengusap punggung dan kulit kepala lumayan menyegarkan, hari ini menurutku sempurna! Tapi rasanya, masih ada yang aneh.


          “Yang, kamu kenapa sih? Kok ngelamun gitu? Lagi mikirin mantan kamu ya?” ucapnya dengan nada kesal.
          “Ngga ngelamun kok.” Jawabku singkat.

Oh, aku tau yang membuat hari ini jadi kurang sempurna, yah, sifatmu...

          “Tapi dari tadi kok kopinya cuman dikocek-kocek, ngga diminum?” Tanya-nya lagi padaku.
          “Bebas dong, kopinya aja yang aku kocek-kocek ngga protes.” Jawabku lagi.
          “Terserah kamu deh, gitu sih ya, yang belum bisa move on dari mantan mah.” Ucapnya ketus.
Aku berhenti mengocek-ngocek kopi hitamku, lalu memandanginya dengan serius.
          “Sani! Stop Bicara soal mantan!” nada bicaraku sedikit naik.
          “tuh kan, disindir sedikit soal mantan langsung sewot, dasar laki-laki!” Ucapnya lagi.
Kesabaranku sudah habis, suasana kafe jadi tidak enak, aku tidak meminum setegukpun kopi yang kupesan pagi ini, entah karena kopi ini memang pait, atau memang suasana hatiku yang sedang pait. Aku berdiri dan beranjak pergi menuju pintu kafe, hendak meninggalkan kafe ini, tapi suara dan pelukan hangat dari belakang perempuan ini benar-benar melumpuhkan kakikku.
          “Jangan pergi, maaf tadi aku cuman becanda.“
Ucapnya sambil menyembunyikan wajahnya ke punggungku, punggungku sepertinya mulai membasah,menandakan air matanya jatuh dari matanya.
“aku cuman gak mau hubungan kita kaya gini, kamu banyak ngelamun, ngelamun
hal yang bahkan aku gak tau, aku mau kita kaya pasangan lainnya, becanda,
ketika si cewek bicara soal masalahnya si cowok tuh denger, terus ngasih
tanggapan, bukannya ‘iya-iya’ gak jelas, aku ngerasa kamu jadi beda, beda
jauh banget, beda banget dari waktu kita pertama kenal.” Lanjutnya.
Aku tidak berani berbalik, hal ini sudah sering terjadi, semakin kita mencoba memperbaiki hubungan ini semakin rusak juga ketika kita bertengkar kembali, hubungan kita seperti guci yang pecah, meskipun kita sudah memperbaikinya dengan lem, bekas retakannya tidak akan hilang.
          “Maaf San, aku ingin keluar mencari udara segara, jadi tolong lepaskan.” Ucapku lembut, suarakupun tak kalah gemetar dari tangisannya, yang aku tau, sudah berapa kali alasan itu kugunakan untuk melepas tangisannya.
Akhirnya dia melepaskanku, dan aku pergi keluar meninggalkan Sani menangis sendirian seperti sebelumnya, aku memang terlalu bodoh untuk menjadi seorang laki-laki, tega meninggalkan pacarnya menangis sendirian, tapi mau bagaimana lagi, hal ini sudah terlalu sering terjadi, aku takut jika aku masih disana, hubungan kita malah tidak bisa diperbaiki lagi.
Aku berjalan mendekati pesisir pantai, menginjak pasir putih yang lembut, dan mendengar lantunan indah ombak dan angin yang saling bersahutan, aku duduk di pasir dan menatap luasnya laut ini, matahari terbenam akan segera datang, banyak orang bilang matahari terbenam di musim panas adalah hal yang paling indah, itu kenapa sekolah kita mengadakan kelulusan di pantai seperti sekarang.
          Aku kembali menatap laut ini, tapi kini ada yang mengalihkan pandanganku, seorang gadis dengan baju putih dan rambut yang terkuncir, sedang duduk menghadap laut, sama persis dengan apa yang kulakukan sekarang, tadi perasaan aku tidak melihatnya, atau mungkin aku terlalu terpaku pada laut, sehingga aku tidak menyadari kedatangannya. Kenapa aku jadi memikirkannya, padahal aku tidak kenal dia, pandanganku sulit lepas dari sosoknya, sial! Aku ingin berkenalan dengannya.
Tiba-tiba dia membalikan badan, entah apa yang membuatnya seperti itu, aku kaget dan memalingkan wajahku yang tertangkap basah sedang memandanginya dari belakang. Jantungku berdebar, wajahku memerah, sebenarnya apa yang aku rasakan, tidak mungkin aku jatuh cinta semudah ini, saat aku memalingkan wajah lirikan mataku tidak dapat berbohong, aku selalu ingin memandangnya.
          Dia terus memandang ke arahku, jantungku semakin berdebar, aku tidak dapat mengelak lagi, aku balik memandang kepadanya, sekarang dari jarak sejauh ini kita saling memandang. Tanpa kusangka dia melemparkan senyuman dan melambaikan tangannya ke arahku, aku benar-benar salah tingkah dibuatnya. Aku melihat sekelilingku, dan kurasa memang tidak ada orang lain selain aku, aku menunjuk diriku dengan jari tangahku sebagai isyarat bahwa yang dia lambaikan tangan itu benar-benar aku, dia membalasnya dengan anggukan kepala, itu artinya dia benar-benar memanggilku, aku tidak tahu harus berkata apa yang jelas aku sangat senang sekali.
Setiap satu langkahku ke arahnya satu kali juga jantungku hampir berhenti berdetak, aku semakin dekat dengannya, dan dengan jarak sedekat ini aku tahu kalau, senyumannya sangat manis.
          “Manggil saya?” Ucapku gugup.
          “Iya, sini duduk sebelah aku.” Jawabnya lagi.
Apa aku tidak salah dengar, dia baru kenal denganku beberapa menit yang lalu, tapi dia langsung mengajakku duduk bersama.
Aku menganggukan kepala sebagai anda iya, dan duduk di sampingnya, di dermaga ini,sambil memandangi laut.
          “Cerita?” Ucap perempuan itu.
          “Cerita apa?” Jawabku kebingungan.
          “Wajah kamu menandakan kamu banyak masalah, kamu jangan sungkan, anggap saja aku pacarmu.” Ucapnya dengan polos.
          “Justru karena menganggap kamu sebagai pacar, mungkin saya jadi gak bisa cerita.” Jawabku.
          “Kok gitu? Bukannya pacar itu tempat kita berbagi dan menyelesaikan masalah.” Jawabnya lagi.
          “Kalau masalahnya pacar kita sendiri bagaimana?” Ku yakin kini dia skak mat.
          “Kamu pernah melakukan kesalahan pas lagi pacaran gak?” dia malah balik bertanya.
Aku diam sejenak, mengingat kesalahan apa saja yang telah aku lakukan, aku mengingatnya, ada satu kejadian yang menurutku itu murni kesalahanku.
          “Saya pernah membiarkannya menunggu kehujanan di sebuah taman selama 1 Jam, tapi saya langsung meminta maaf dan membayar semuanya.” Ucapku.
Dia diam sejenak, lalu tersenyum lebar, mungkin dia berpikir kalau aku ini orang idiot yang tega meninggalkan pacarnya kehujanan.       
“Berapa kali kamu pernah terlambat menjemputnya?” tanyanya lagi.

DEG...

Jantungku berdetak, aku yang sekarang skak mat.
          “Entah, sering sekali.” Jawabku jujur.
          “Apa dia memaafkanmu?” Tanyanya.
          “Ya.” Jawabku singkat..
          “Apa dia pernah berbuat kasar padamu kalau kamu berbuat kesalahan?” Tanyanya lagi.
          “Tidak.” jawabku.
          “Apa dia pernah meninggalkanmu ketika dia telat dijemput?” tanya wanita itu.
          “Tidak, dia selalu menungguku bagaimanapun situasinya.” jawabku lagi.
          “Apa pernah dia memanggil orang lain untuk menjemputnya, ketika kamu sangat terlambat menjemputnya?” Tanyanya lagi.
          “Tidak.” ucapku, kali ini sambil menggelengkan kepala.
          “Lalu kenapa, kamu bisa meninggalkannya hanya gara-gara masalah kecil?” Ucapnya tegas.

Tidak ada yang bisa kukatakan, aku skak mat.
          “Wanita itu sangat menyayangimu, jemput dan minta maaf padanya.” Lanjutnya padaku.
          “Bagaimana kamu tahu, dia menyayangiku?” tanyaku.
          “Sejak tadi dia dibelakang, memperhatikan kita mengobrol berdua, mungkin dia cemburu.” Ucapnya.

          Aku langsung menengok ke belakang, dan benar Sani sedang ada di ujung berlainan dermaga ini memperhatikan kita berdua, entah sejak kapan.
          “Tunggu apa lagi? Dia sudah menunggumu, jangan sampai kamu lepaskan orang yang sayang padamu.” Ucapnya
Aku berdiri, bersiap mengejar Sani, tapi sebelumnya aku melontarkan satu pertanyaan.
          “Dari tadi kita mengobrol tapi kita belum saling tahu nama kita, namaku Rafa, siapa namamu?” tanyaku padanya.
Gadis itu tersenyum lebar, dan tidak menatapku, tapi senyuman itu aku kenal sekali, dia itu.
          “Namaku Agita Darmasani.” Ucapnya
Aku tercengang, dia ternyata Sani pacarku, tapi bagimana mungkin dia bisa ada di dua tempat yang berbeda.
          “Cepat kejar aku, nanti aku keburu marah besar loh.” Ucapnya dengan senyuman indah di bibirnya.
 Aku hanya tersenyum lalu berbalik dan mengejarnya, dia berlari menjauh, tapi aku berhasil menyusulnya, dia terlihat menangis, aku menghentikan langkahnya.
          “Tunggu aku bisa jelaskan.” Ucapku.
          “Gak ada yang perlu dijelasin lagi Raf.” Ucapnya sambil menangis.
Aku memeluknya dan berkata.
          “Aku bodoh maafkan aku, kamu tidak akan percaya apa yang akan kutakan sekarang, percuma aku menjelaskan, tapi aku hanya ingin bilang, maafkan aku, aku tidak mau kehilangan kamu.”
Sani ‘yang lain’ di ujung dermaga itu, tersenyum melihatku, lalu selanjutnya dia menghilang, bersama tenggelamnya matahari hari ini, dan berakhirnya cerita ini.


TAMAT

(Saya akui judul cerpen ini yang paling aneh :| dan ahmpir saja saya lupa kalau ini hari minggu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar