Kamis, 12 Februari 2015

Dandelion

Dan Delion
Pagi ini Garry terlihat senang, bagaimana tidak? Garry akan mengajak Deli Pergi, menghilangkan elegi di hari-hari terakhir ketika dia bimbang memikirkan hubungannya dengan Deli. Mungkin ini kesempatan satu kali seumur hidup, atau mungkin kesempatan terakhir Garry, atau mungkin kesempatan terakhir Deli.
Garry mandi, Garry sarapan, lalu pergi, Garry tidak ingin semuanya jadi kacau hanya gara-gara dia terlambat. Dibalut dengan jeans dan kaos hitam kesukaannya, tidak lupa ditutup jaket dengan bahan parasute berwarna biru kesayangannya. Pemuda berkacamata ini memang tidak terlalu mahir berdandan, rambutnya ala-ala british mengikuti tren zaman sekarang.


    Dia pergi, lalu sampai, dan semua yang dilakukannya tidak mengubah apapun. Dia tetap sampai tidak pada waktunya.

Hoam. Delion menguap, menandakan kekesalannya pada Garry yang terlambat, padahal Garry hanya terlambat limabelas menit, tapi ya, begitulah wanita, tidak suka waktunya dibuang untuk menunggu.
Delion juga tidak kalah menarik, atasan kaos lengan panjang dengan renda di lubang leher, entah pakaian jenis apa namanya, kalian para wanita mungkin lebih bisa menyimpulkan.
Mungkin tidak berguna bagi Garry untuk meminta maaf sekarang, memang sepertinya mereka harus segera berangkat, atau keadaan akan jadi semakin rumit untuk dijelaskan penulis.

    Mereka berdua berangkat, dengan sepedamotor matik sederhana milik Garry, entah kemana? Deli beberapa kali menannyakan pertanyaan yang sama pada Garry, tapi jawabannya selalu sama, Ketempat yang tenang.

Diperjalanan Mereka berbicara layaknya berdekatan, sampai akhirnya Deli selalu menyertakan nama seorang laki-laki disetiap serpihan ceritanya, Garry menyadari kalau tembok besar sedang ada didepan hubungannya.

Ternyata ini tempat yang dimaksud Garry, sebuah bukit, dengan padang rumput yang dipenuhi dengan bunga Dandelion.

    Lalu Deli memetiknya, memetik bunga yang sesuai dengan namanya. Dandelion. Dia membisikan sesuatu pada bunga itu lalu meniupnya, bunga itu terbang, lalu terbawa angin. Garry sempat melirik kegiatan yang dilakukan Deli, Deli membalas dengan marah manjanya Jangan nguping! Garry semakin bingung dengan apa yang dimaksud oleh Deli.
Del, ngapain sih? Garry bertanya penuh keheranan, Delion menjawab semua keheranannya dengan tuntas Katanya bunga Dandelion itu, kalau kita bisikin sesuatu ke dia lalu meniupnya, bunga Dandelion itu bakal terbang dan menyampaikan pesan itu pada orang yang kita tuju. Garry hanya mengangguk.
Ngerti ? tanya Deli.
Nyebelin ya? Garry malah balik menannya.
Siapa?
Kamu.
Loh kok aku?
Maksud aku bunga Dandelion.
Kok nyebelin?
Gimana kalau dia ngasih tahu kita lagi berdua disini.
Ke siapa?
Kepada laki-laki yang sering kau sebutkan namanya.
Yogi?
Oh... jadi itu namanya.
Lalu mereka jadi saling diam, diam yang terlalu lama. Diam yang seharusnya pada saat ini tidak harus terjadi.
Pulang yuk. Kata Deli.
Pakai jaket kamu, sepertinya mau hujan.

    Lalu mereka kembali, menepis hujan yang deras, ku lihat tangan Deli merangkap erat di perut Garry, dengan kepala yang di sandarkan di bahunya. Garry juga tidak mau banyak berkomentar, dia menikmati---mungkin---kesempatan terakhir yang dihabiskan bersama Deli.
Saat berpisah di depan rumah Deli pun, mereka tidak banyak berbicara, Deli yang menceritakan kejadian lucu yang ia alami saat di perjalanan bersama Garry, tidak Garry hiraukan, dia hanya ingin cepat pulang, diam sendiri di ruangannya lalu berharap-harap cemas bunga Dandelion itu benar-benar akan datang padanya.


Namun, sampai esok paginya bunga dandelion yang di tiup Deli kala itu tak kunjung sampai, bahkan esok paginya, esok paginya, dan esok paginya lagi, sampai akhirnya Garry sudah tak bersama Deli lagi, sampai akhirnya tembok yang besar itu semakin kokoh, sampai akhirnya Deli bersatu dengan Yogi, dan Garry kembali sendiri, bersama elegi di hari-hari terakhir ketika dia bimbang memikirkan hubungannya dengan Deli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar