Dan Delion
Pagi ini Garry
terlihat senang, bagaimana tidak? Garry akan mengajak Deli Pergi, menghilangkan
elegi di hari-hari terakhir ketika dia bimbang memikirkan hubungannya dengan
Deli. Mungkin ini kesempatan satu kali seumur hidup, atau mungkin kesempatan
terakhir Garry, atau mungkin kesempatan terakhir Deli.
Garry mandi,
Garry sarapan, lalu pergi, Garry tidak ingin semuanya jadi kacau hanya
gara-gara dia terlambat. Dibalut dengan jeans dan kaos hitam kesukaannya, tidak
lupa ditutup jaket dengan bahan parasute berwarna
biru kesayangannya. Pemuda berkacamata ini memang tidak terlalu mahir
berdandan, rambutnya ala-ala british
mengikuti tren zaman sekarang.
Dia pergi, lalu sampai, dan semua yang
dilakukannya tidak mengubah apapun. Dia tetap sampai tidak pada waktunya.
“Hoam.” Delion menguap,
menandakan kekesalannya pada Garry yang terlambat, padahal Garry hanya
terlambat limabelas menit, tapi ya, begitulah wanita, tidak suka waktunya dibuang
untuk menunggu.
Delion juga tidak
kalah menarik, atasan kaos lengan panjang dengan renda di lubang leher, entah
pakaian jenis apa namanya, kalian para wanita mungkin lebih bisa menyimpulkan.
Mungkin tidak
berguna bagi Garry untuk meminta maaf sekarang, memang sepertinya mereka harus
segera berangkat, atau keadaan akan jadi semakin rumit untuk dijelaskan
penulis.
Mereka berdua berangkat, dengan sepedamotor
matik sederhana milik Garry, entah kemana? Deli beberapa kali menannyakan
pertanyaan yang sama pada Garry, tapi jawabannya selalu sama, “Ketempat yang
tenang.”
Diperjalanan Mereka
berbicara layaknya berdekatan, sampai akhirnya Deli selalu menyertakan nama
seorang laki-laki disetiap serpihan ceritanya, Garry menyadari kalau tembok
besar sedang ada didepan hubungannya.
Ternyata ini
tempat yang dimaksud Garry, sebuah bukit, dengan padang rumput yang dipenuhi
dengan bunga Dandelion.
Lalu Deli memetiknya, memetik bunga yang
sesuai dengan namanya. Dandelion. Dia membisikan sesuatu pada bunga itu lalu
meniupnya, bunga itu terbang, lalu terbawa angin. Garry sempat melirik kegiatan
yang dilakukan Deli, Deli membalas dengan marah manjanya “Jangan nguping!” Garry semakin
bingung dengan apa yang dimaksud oleh Deli.
“Del, ngapain sih?” Garry bertanya
penuh keheranan, Delion menjawab semua keheranannya dengan tuntas “Katanya bunga
Dandelion itu, kalau kita bisikin sesuatu ke dia lalu meniupnya, bunga
Dandelion itu bakal terbang dan menyampaikan pesan itu pada orang yang kita
tuju.” Garry hanya
mengangguk.
“Ngerti ?” tanya Deli.
“Nyebelin ya?” Garry malah
balik menannya.
“Siapa?”
“Kamu.”
“Loh kok aku?”
“Maksud aku bunga
Dandelion.”
“Kok nyebelin?”
“Gimana kalau dia
ngasih tahu kita lagi berdua disini.”
“Ke siapa?”
“Kepada laki-laki
yang sering kau sebutkan namanya.”
“Yogi?”
“Oh... jadi itu
namanya.”
Lalu mereka jadi
saling diam, diam yang terlalu lama. Diam yang seharusnya pada saat ini tidak
harus terjadi.
“Pulang yuk.” Kata Deli.
“Pakai jaket kamu,
sepertinya mau hujan.”
Lalu mereka kembali, menepis hujan yang
deras, ku lihat tangan Deli merangkap erat di perut Garry, dengan kepala yang
di sandarkan di bahunya. Garry juga tidak mau banyak berkomentar, dia
menikmati---mungkin---kesempatan terakhir yang dihabiskan bersama Deli.
Saat berpisah di
depan rumah Deli pun, mereka tidak banyak berbicara, Deli yang menceritakan
kejadian lucu yang ia alami saat di perjalanan bersama Garry, tidak Garry
hiraukan, dia hanya ingin cepat pulang, diam sendiri di ruangannya lalu
berharap-harap cemas bunga Dandelion itu benar-benar akan datang padanya.
Namun, sampai
esok paginya bunga dandelion yang di tiup Deli kala itu tak kunjung sampai,
bahkan esok paginya, esok paginya, dan esok paginya lagi, sampai akhirnya Garry
sudah tak bersama Deli lagi, sampai akhirnya tembok yang besar itu semakin
kokoh, sampai akhirnya Deli bersatu dengan Yogi, dan Garry kembali sendiri,
bersama elegi di hari-hari terakhir ketika dia bimbang memikirkan hubungannya
dengan Deli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar