Malam
hari itu ku lihat Pandu sedang duduk di sofa yang terletak di sudut sebuah cafe
favoritnya di kota Bandung, dengan secangkir coklat panas yang ku lihat sudah
habis setengahnya terlantar di atas meja. Malam itu hujan turun deras, tapi
cafe masih cukup ramai, setidakanya ada 3 orang dan 2 tanaman, ada Pandu, aku,
dan pelayan yang menggunakan dasi kupu-kupu norak yang merapat sebagai kasir
juga. Bagi pandu yang hobinya datang ke perpustakaan---untuk membaca
tentunya---ada 5 mahluk hidup dalam sebuah ruangan sudah terbilang ramai.
Ku hitung sudah 2 jam Pandu duduk
di sofa itu tanpa mengangkat pantatnya, dia masih belum bosan membaca buku
karya penulis jadul Indonesia yang aku sendiri jarang sekali mendengar namanya,
buku itu sudah usang, aku tidak tau sejak kapan Pandu memiliki buku itu, tapi
sejak dia masuk SMA dan satu regu ketika masa orientasi denganku, buku itu
tidak pernah lepas darinya. Sesekali Pandu mengecek ponselnya, aku rasa sudah
dipastikan, Pandu menunggu seseorang. Alunan musik tahun 90-an yang menggema di
cafe menambah suasana hening di sini, apalagi suaranya berasal dari piringan
hitam yang sudah lawas itu.